Asri AyuSyar'i

Senin, 15 Agustus 2022

Bayat, Mengajarkan Kami Tetap Kuat


            Bayat, Mengajarkan Kami Tetap Kuat.

                          Penulis: Asri Istiqomah



       Pagi itu, 26 Mei 2006, sekira pukul enam kurang aku tengah menikmati sarapan sambil melihat televisi. Tiba-tiba aku merasa seperti diayun-ayun beberapa detik, tapi aku gak terlalu ngeh. Aku pikir anemia-ku kambuh, jadi aku lanjut makan saja. 

Tapi orang-orang rumah mulai heboh. 

"Apa ana lindu?" Tanya ibuku. 

Gempa? Apa iya? 

"Napa nggih, Bu? Kirain tadi cuma aku yang pusing nggliyeng aja." 

Dan rasa penasaran kami terjawab saat televisi memberitakan bahwa telah terjadi gempa dengan kekuatan 5,9 SR di Jogjakarta dan sekitarnya. 

Saat itu aku berpikir, masak gempanya terasa sampai Sragen, sih? 

Ibu tampak khawatir karena salah satu kakakku tinggal di Jogja pada saat itu, lalu menyuruh bapak menelepon.

Aku juga segera menghubungi beberapa teman kampus di Solo. Dan mereka mengatakan juga merasakan getaran gempa itu. 

Dan tak berapa lama ada SMS dari salah satu senior di organisasi kampus bahwa akan dibentuk relawan untuk misi kemanusiaan di Jogja dan sekitarnya. Dan kami semua diminta bersiap siaga jika sewaktu-waktu diminta menjadi relawan.

Sepekan setelah kejadian.

Aku dan beberapa teman kampus berkumpul untuk pemberangkatan ke daerah terdampak gempa Jogja. Sebelumnya kami sudah di-briefing sekaligus mendapat pelatihan dasar untuk menjadi relawan bencana alam. Dan karena  hal itu adalah pengalaman baru bagiku, tentu saja itu membuatku bersemangat. 

Kami lalu berangkat menuju tempat bencana menggunakan sepeda motor. Aku sendiri berboncengan dengan salah satu adik kelas beda fakultas, sebut saja Eni. Kami baru kenalan saat dijadikan satu partner untuk misi kemanusiaan ini, jadi aku belum begitu mengenalnya saat itu. Okelah, nanti bisa kenalan lebih lanjut saat di posko.

Singkat cerita, aku dan Eni ditempatkan di salah satu posko di daerah Bayat Klaten. Bayat ini termasuk salah satu kecamatan yang terdampak gempa. Cukup banyak bangunan yang roboh, dan sejumlah warga menjadi korban, serta ada beberapa titik pengungsian di sana. Kami akan bersinergi dengan relawan asli Bayat. 

Posko kami bertempat di salah satu sekolah dasar. Saat kami datang, suasana posko tidak seperti pengungsian. Tapi terdapat banyak sekali amunisi bencana, seperti bahan makanan, pakaian layak pakai, susu dan perlengkapan bayi,  sampai keperluan rumah tangga lain. 

"Ini bukan posko pengungsian. Tapi ini gudang amunisi untuk korban bencana." Kata Mas Jinan menjelaskan.

Oh, ya, Mas Jinan ini adalah salah satu relawan asli Bayat yang akan membantu kami di posko. Dia juga yang nanti akan menjadi komando untuk kegiatan relaowan di daerah tersebut. 

Setelah briefing singkat, aku dan Eni dipersilakan untuk menempatkan barang bawaan kami di salah satu ruangan. Ruangan ini nantinya akan menjadi tempat istirahat kami selama beberapa hari di sana. 

Ternyata ruangannya juga bukan seperti kamar pada umumnya. Banyak barang amunisi yang memenuhi ruangan itu, dan tersisa beberapa meter untuk kami istirahat. Ya, kami harus maklum, namanya juga di tempat bencana, maka relawan harus bisa menempatkan diri dan beradaptasi dengan kondisi apapun di sana. 

Kembali kepada tugas kami. Sebagai relawan di posko amunisi, kami lebih banyak berada di posko untuk melakukan serangkaian tugas terkait amunisi bencana. Seperti mencatat amunisi yang datang, mencatat amunisi yang tersalurkan, menyiapkan amunisi, sekaligus menata amunisi agar rapi. Oh ya, karena ini posko amunisi, maka banyak relawan dari berbagai titik di daerah Bayat yang datang untuk mengambil amunisi bencana. Relawan inilah yang akan menyalurkan ke berbagai daerah itu. Kami juga bertugas menyiapkan apa saja yang dibutuhkan oleh relawan tersebut.

Tetapi, meski tugas utama kami adalah di posko amunisi, tapi beberapa kali kami juga harus mengunjungi titik-titik pengungsian untuk memberikan trauma healing kepada anak-anak di pengungsian. 

Kalau di pagi hari, kami mengunjungi titik pengungsian di desa yang tak jauh dari posko. Kami bertugas mengajari anak-anak untuk senam bersama dan sarapan bersama. Kami juga bermain beberapa permainan tradisional seperti petak umpet, betengan, dan lain-lain. Tak lupa, kami membawa beberapa amunisi untuk anak-anak, ada permen, roti, snack dan alat tulis agar mereka tetap semangat untuk belajar. 

Yang paling menyentuh adalah ketika mereka bercerita tentang kejadian gempa sepekan lalu. Beberapa anak masih berceloteh riang, seperti tidak terjadi apa-apa. Tapi sebagian yang lain tampak bersedih.

"Simbahnya meninggal, Mbak." Kata seorang anak menjelaskan kepada kami, sambil menunjuk salah satu anak yang banyak diam.

Aku mengangguk. 

"Insya Allah, simbah masuk surga. Jangan sedih lagi, ya," kataku menenangkan. Dan anak laki-laki pendiam itu mengangguk sambil tersenyum. 

Saat matahari mulai meninggi, kami pamit untuk kembali ke posko. Mungkin jika tidak ada tugas lain, kami akan datang lagi esok hari. 

Kami saling melambaikan tangan saat  berpisah. Aku tersenyum haru saat beberapa anak laki-laki ikut berlari di belakang motor kami.

"Dadaaaah!"

***

Tugas di posko kembali sibuk, karena amunisi tambahan berdatangan. Kami harus segera mencatat dan menempatkannya di ruangan yang telah disediakan. 

Beberapa pesan di SMS terbaca. Salah satunya teman kampus yang mengingatkan tugas kuliah.

Duh, dalam kondisi seperti ini sangat sulit bagiku memikirkan tugas kuliah. Tapi aku berterima kasih kepada temanku itu, karena sudah mengingatkan hal itu. Ya, meski mungkin aku baru akan mengerjakan tugas setelah aku pulang ke Solo. Toh, hanya beberapa hari aku jadi relawan di sini, tak sampai seminggu. 

"Mbak-mbak, nanti sore kita akan mengunjungi salah satu posko pengungsian di daerah Bayat Selatan. Nanti ada TPA (Taman Pendidikan Al Qur'an) di sana. Minta tolong ya, salah satu Mbak bisa menyiapkan apa gitu. Bercerita, atau menyanyi lagu islami." Kata Mas Jinan tiba-tiba.

Aku dan Eni saling pandang. Aku menyuruh Eni yang bercerita nanti di TPA, tapi dia malah ketawa.

"Mbak, wae, lho. Kan udah biasa berbicara di depan orang banyak." Jawab Eni.

"Jauh gak, Mas, tempatnya?" Tanyaku ke Mas Jinan.

"Lumayan jauh, dan medannya agak naik nanti." Pemuda itu menjelaskan.

"Tenang, Mbak. Aku ntar yang boncengin Mbak. Tapi Mbak yang nyiapin acara buat anak-anak TPA-nya." Kata Eni. 

Aku setuju.

Sore harinya, selepas asar, kami sudah siap dengan motor kami. Mas Jinan lebih dulu berkendara di depan kami, karena dia yang lebih tahu tempatnya. Dan benar kata Mas Jinan, tempatnya jauh dan cukup terpencil, plus agak ke atas bukit. 

Awalnya kami gak begitu paham kenapa posko pengungsiannya ada di tempat yang agak tinggi. Tapi setelah kami tahu, ternyata dipilih tempat yang agak tinggi karena saat gempa sepekan lalu sempat beredar kabar akan terjadi tsunami. Jadi orang-orang memilih mencari tempat mengungsi yang lebih tinggi.

Sesampai di posko pengungsian, kami langsung menuju salah satu mushala. Di sana sudah berkumpul puluhan anak-anak dan beberapa guru TPA. 

Meski dengan keterbatasan tempat, ternyata anak-anak begitu antusias mengikuti acara TPA setiap sore selama di posko pengungsian. Orangtua mereka juga merasa senang, karena anak-anaknya jadi ada kegiatan positif. 

Dan akhirnya aku benar-benar berdiri di depan puluhan anak-anak itu. Aku coba ingat kembali pengalaman beberapa tahun lalu saat menjadi guru TPA di desaku. Lalu, bismillah, aku mulai bercerita tentang nabi dan rasul. Sesekali aku melempar pertanyaan kepada mereka agar mereka antusias. Sebelum aku mengakhiri sesi bercerita, aku mengajak anak-anak main tepuk-tepuk. Ada tepuk anak shalih, tepuk rukun Islam, dll. Aku terharu ketika mereka semua menyambutnya dengan bersemangat. 

Akhirnya, setelah sekian lama aku hiatus dari mengajar TPA, aku bisa merasakan kembali 'ruh' mengajar TPA itu. Dan setelah salat magrib, kami pamit untuk kembali ke posko amunisi.

***

Empat hari aku dan Eni bertugas di posko amunisi, kini sudah saatnya kami pamit untuk kembali ke Solo. Esok hari, rekan kami yang lain akan menggantikan tugas kami di posko ini. 

Sebelum pulang kami sempatkan berpamitan dengan anak-anak di sekitar posko amunisi, juga kepada beberapa orangtua yang sejak awal menyambut kami dengan hangat. Perasaan kami bercampur aduk. Sedih harus meninggalkan mereka, tetapi tugas kami di kampus juga tengah menunggu. 

Setelah saling mendoakan kami pamit pulang dengan membawa sejuta kenangan. Ada sedih, ada letih, tapi tercelup dalam belanga bahagia. Ya, kami bahagia pernah menjadi bagian dari mereka.

Bayat, terima kasih telah mengajarkan kami untuk tetap kuat. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar