Asri AyuSyar'i

Selasa, 01 Desember 2009

belajar Bahasa Korea yuks....

Assalamualaikum....
Annyong haseyo!!!! selamat pagi semua....saya harap semua dalam kondisi baik2 saja...gak tau kenapa akhir2 ini saya tertarik sekali dengan Korea. bahasanya, budayanya, filmnya, bahkan musiknya juga aku kesengsem...meskipun gak tau artinya he he he...
makanya, saya coba nyari kamus bahasa KOrea, dan salah satunya aku temukan setelah search di google...ehmmm...lumayan juga...bisa membantu untuk belajar bahasa korea...
nah, sedikit akan aku tulis beberapa kata dan kalimat dalam bahasa korea yang aku pelajari lewat kamus...

annyong haseyo: halo/ atau ucapan selamat pagi/siang/sore/malam
sarangheyo: aku cinta padamu
bolusipo: aku rindu sama kamu
tangsinen odi nendeyo: anda mau kemana?
agassi hipo: gadis cantik
oppa: panggilan kakak cowok
onni: panggilan kakak cewek
dongseng: panggilan untuk adek
ne: ya
anio: tidak
gamsa hamnida: terima kasih
mianhae: maaf

yup...itu dulu ya...lain kali saya tambahkan lagi beberapa kalimat dan kata dalam bahasa korea...
semangat!!!
azza...azza...fighting!!!

Perempuan dan Militansi Perjuangan

Apa yang ada dalam benak kita saat mendengar kata perempuan? Lemah, lembut, keibuan, nrimo, dan halus. Sebagian lagi menambahkan kata suka mengalah, penakut dan cengeng (what??? Ups…sabar dulu…jangan kebawa emosi!). Ehmm…tapi apa iya perempuan identik dengan hal-hal di atas? Tak adakah karakter lain yang bisa menggambarkan sosok perempuan kecuali yang tertulis di atas? Pemberani mungkin? Atau garang, keras, macho, kuat, dan militan.

What??? Perempuan militan? Emang ada? Eit…jangan salah militan itu gak hanya milik kaum laki-laki saja. Kaum perempuan pun bisa mengantongi ijin kemilitansian. Tapi sebelum kita bahas militansi perempuan, kita cari dulu definisi militansi.

Definisi Militan

Dalam Cambrige International Dictionary, istilah militan sebagai kata sifat didefinisikan sebagai, “active, determined and often willing to use force” (aktif, tekun, dan acapkali sudi untuk menggunakan kekuatannya).

Militan sebagai kata sifat juga didefinisikan dengan berjuang atau berperang. Arti lainnya, memiliki karakter bertempur, agresif, khususnya dalam menghadapi (suatu) perkara. Militan sebagai kata benda, didefinisikan sebagai perjuangan, pertempuran, atau agresivitas; baik individu ataupun partai (The American Heritage® Dictionary of the English Language, Fourth Edition. Published by Houghton Mifflin Company.)

Kalau diambil intisari dari definisi-definisi militan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa karakter militan itu antara lain, bergairah dalam melaksanakan tugas, tekun, gigih, punya semangat tinggi, pantang menyerah, tidak mudah untuk putus asa meski banyak rintangan dan hambatan. Bahkan acapkali, rintangan yang ada di hadapannya dianggap sebagai tantangan.

Karakter dan bentuk militansi perempuan

Lalu perempuan militan itu seperti apa? Bagaimana karakternya? Apakah seperti sosok Mulan dalam film animasi Mulan? Apakah seperti sosok Xena, wanita perkasa dalam mitos Yunani, atau seperti Lara Croft (Angelina Jolie) dalam film aksi Tomb Rider. Atau seperti siapa?

Tunggu dulu! Harus dipahami dulu, bukankah dalam definisi telah dijelaskan bahwa militan bukan hanya berkaitan dengan forsir kekuatan, penampilan kekerasan atau pamer otot aja. Kalau kita berfikir sesempit itu, kaum perempuan tentu menjadi mayoritas kaum yang tidak bisa mendapatkan “gelar” militan itu sendiri. Tau sendiri, umumnya kaum perempuan adalah kamu yang secara fisik tidak lebih kuat (red, bukan lemah lho ya) dari pada fisik laki-laki.

Militan cakupannya lebih luas dari itu. Sehingga yang dinamakan perempuan militan adalah perempuan yang mampu menunjukkan karakter militan (dengan segala definisinya), serta mampu berpegang teguh menjaga kualitas militansinya.

Dan perempuan militan, berarti perempuan yang memiliki karakter dan sifat-sifat yang disebutkan di atas. Tentunya militansi ini dikaitkan dengan militansi dalam beragama, berbangsa dan bernegara. Artinya cakupan militansi tidak boleh hanya dipahami dalam batasan agama saja. Bahkan bangsa dan negara membutuhkan pembuktian militansi rakyatnya, baik laki-laki maupun perempuan.

Kepekaan kita (red, laki-laki dan perempuan) dalam menyadari adanya problematika bangsa dan negara serta dibarengi usaha untuk memberikan solusi bagi permasalahan tersebut. Itulah makna militansi kepada bangsa dan negara. Kalau kita tarik lebih sempit, pada tataran organisasi atau gerakan mahasiswa, militansi bisa dibuktikan dengan kesungguhan dan totalitas kita dalam memperjuangkan visi dan misi gerakan.

Dalam tataran lebih kecil lagi, jika kita adalah perempuan yang sudah menjadi istri dari suami dan ibu dari anak-anak. Maka khidmah (pelayanan) kita terhadap suami dan anak-anak, menjadikan suami seorang mujahid dakwah dan anak-anak sebagai permata dalam dakwah, inilah salah satu bentuk militansi seorang perempuan.

Mengapa khidmah dalam keluarga disebut militan juga? Karena tugas ini sangat berat. Tak semua perempuan bisa melakoninya dengan sempurna. Perlu pengorbanan dan kesabaran dalam menjalaninya. Berkorban waktu, tenaga dan pikiran. Dan sabar dalam setiap ujian yang dihadapi.

Dari pemahaman ini, ada beberapa poin yang bisa kita uraikan:

  1. Militan adalah bervisi besar

Perempuan militan adalah sosok yang mempunyai visi yang besar dalam hidupnya. Tentang diri, keluarga, bangsa dan negara, serta agamanya. Semakin besar visi (ingat…visi, bukan angan-angan kosong!!!), maka semakin besar peluang terciptanya sebuah karya yang monumental. Sebuah pepatah mengatakan, “Orang yang besar berawal dari mimpi (visi) yang besar.”

Kebalikannya, seorang yang kerdil, hanya akan berputar-butar dalam khayalan dan angan-angan yang kecil, tidak seberapa, atau bahasa gaulnya perkara remeh temeh. Ketika seorang besar memikirkan tentang potensi diri di masa depan, tentang bagaimana nasib bangsa dan negara, serta berpayah-payah memikirkan solusi dari persoalan umat dan agama.

Maka, seorang kerdil hanya akan berkutat dalam rutinitas pekerjaan yang tidak memberi makna lebih bagi umat, atau bagaimana menumpuk harta dan bermewah-mewahan di atas kemiskinan tetangganya. Atau parahnya adalah, ketika seorang itu hanya memikirkan penampilan diri, gaya hidup melangit, obsesi menjadi artis dan selebritis yang popular, ikut audisi ini audisi itu, duta ini duta itu, dan berkutat dalam kumparan kisah asmara picisan.

Begitulah adanya. Seorang militan adalah seorang yang bervisi besar. Dan perempuan militan adalah perempuan yang mempunyai visi besar dalam hidupnya.

  1. Militan harus dibuktikan dengan keseriusan.

Bagaimana membuktikan militansi seseorang? Setelah ia mempunyai visi, maka visi itu hanya akan menjadi benda mati. Dia perlu ruh agar menjadi makhluk hidup. Dia perlu spirit agar bisa bergerak dan menggerakkan. Dia perlu “rengkuhan” eksekusi-eksekusi yang menjadikannya “rupa” yang nyata.

Itu semua membutuhkan keseriusan. Serius dalam pemikiran dan konseptual, serius dalam eksekusi, dan serius dalam mempertahankannya. Jika seseorang hanya serius dalam pemikiran dan konseptual, tapi tidak serius dalam eksekusinya, maka bangunan tak akan terbentuk, dan “rupa” tak akan nyata.

Dan bila pemikiran dan konsep serius, eksekusi luar bisa, tapi tak diiringi dengan keseriusan mempertahankannya (red, istiqomah), maka bangunan yang terbentuk akan roboh. Dan rupa yang tergambar akan pudar. Hambatan di hadapan haruslah dijadikan cambuk untuk maju, pun dengan ujian dan rintangan. Tak ada kata menyerah, meski harus jatuh bangun mempertahankan visinya.

  1. Militan pun perlu bekal

“Movement based on knowledge” begitu sering kita mendengarnya. Tak salah, bahkan memang semestinya demikian. Kita bergerak dan beramal berdasarkan ilmu dan pemahaman. Maka benarlah jika as Syahid Imam Hasan Al Banna menjadikan “Al Fahm” atau kepahaman sebagai poin pertama dalam arkanul bai’ah.

Lucu bukan ketika kita bergerak hanya karena instruksi dan perintah? Aneh bukan jika kita beramal karena imitasi atau meniru orang lain beramal, tapi tak tahu makna amalan itu? Jika kita mengandalkan instruksi dan perintah, namanya robot. Jika kita hanya meniru dan imitasi dari orang lain, maka kita hanya menjadi “fans”. Dan kalau sudah begitu, kapan kita jadi trend setter???

Dan sesungguhnya memahami suatu amalan akan membuat kita bersemangat untuk melakukannya. Lagi dan lagi. Demikian juga dengan visi, ketika kita paham dengan visi juang kita, konsekuensi-konsekuensinya, serta hasilnya (red, balasan), maka akan kita perjuangkan dengan serius dan bersemangat.

Berbagai kisah militansi perempuan

Sungguh. Sangat banyak kisah yang menggambarkan militansi kaum perempuan dari jaman dulu hingga sekarang. Kita awali perjalanan kita dengan melihat perjuangan seorang istri pembawa risalah (Nabi), dialah Bunda Hajar atau biasa dikenal dengan Siti Hajar. Bunda Hajar menggambarkan sosok perempuan yang mengalah (bukan kalah) tapi tidak mengeluh, tegar tapi tidak kasar, bertekad tapi tidak nekad, sekaligus sosok istri yang percaya dan taat dengan suaminya.

Beliau tidak merengek apalagi merajuk ketika ditinggal oleh Nabi Ibrahim di tempat tandus yang tak berpenghuni. Dengan keikhlasan dan keyakinan akan pertolongan Allah, Bunda Hajar tabah dalam menjalani kehidupan. Dan ketabahannya berbuah berkah dari Allah, dengan munculnya mata air Zam-zam yang diberkahi hingga sekarang.

Selanjutnya, tengok pula kisah-kisah perjuangan para shahabiyah Rasullullah SAW. terdapatlah nama seorang perempuan yang turut andil dalam proses hijrah Rasulullah dan sahabat Abu Bakar as Sidiq. Ia bernama Asma binti Abu Bakar as Sidiq. Dalam kondisi hamil Asma membuktikan militansinya yang kuat dengan membawakan bekal perjalanan Rosulullah dan sang Ayah, dengan jarak perjalanan yang jauh serta medan pegunungan berpasir yang tandus.

Tak hanya itu, Asma binti Abu Bakar as Sidiq dikenal sebagai sosok perempuan yang tegas dan memiliki azzam yang kuat. Hingga di akhir usianya pun Asma binti Abu Bakar as Sidiq masih membuktikan ketegasan dan azzamnya. Beliau berani menentang dan berbicara kebenaran di hadapan Al Hajjaj, penguasa tiran pada masa itu.

Mari kita beralih kepada Khansa, sosok Shahabiyah Rasulullah SAW yang menjadikan dirinya tameng pada peperangan melawan kaum musrikin. Sering sekali beliau ikut dalam peperangan. Salah satu keistimewaan beliau adalah syair-syair yang menggugah dan memberi semangat kaum muslimin berjihad di medan perang. Militansinya semakin terukir lewat ketegaran beliau saat keempat buah hatinya gugur dalam peperangan. Bahkan hatinya membuncah karena bangganya.

Melewati beberapa abad, muncul pula kisah militansi seorang perempuan mulia. Yang senantiasa berbicara dengan kebenaran, yang mencoba menguak hak-hak perempuan dengan objektif. Zainab al Ghazali, pejuang Muslimah dari Mesir. Pada tahun 1936 (saat itu usia beliau 18 tahun), beliau sudah berhasil mendirikan Asosiasi Wanita Muslim, yang memperjuangkan hak-hak wanita sesuai dengan kacamata Islam.

Karena kedekatannya dengan gerakan Ikhwanul Muslimin, serta sepak terjangnya memperjuangkan syariah, Zainab al Ghazali sempat dipenjara oleh rezim Gamal Abdul Naser. Dalam penjara tersebut, berbagai siksaan fisik dan mental beliau alami. Namun tak menyurutkan semangat dan azzam beliau untuk terus berjuang atas apa yang beliau yakini.

Menuju Indonesia. Tengoklah. Banyak perempuan luar biasa yang menorehkan kisah militansi perjuangannya di bumi Khatulistiwa ini. Ada yang dikenal dan diabadikan menjadi pahlawan nasional, namun lebih banyak yang tak dikenal dan wafat dengan meninggalkan amal yang nyata.

Sebut saja Sri Ratu Alam Safiatudin Johan Berdaulat dan Siti Aisyah We Tenriolle. Keduanya adalah Raja Perempuan (red, terlepas dari kontroversi masalah pemimpin perempuan) di masanya. Yang pertama (Sri Ratu Alam Safiatudin Johan Berdaulat) memerintah di Kerajaan Islam Aceh sejak tahun 1641 dan memerintah selama kurang lebih 30 tahun. Sedangkan Siti Aisyah We Tenriolle memerintah di Kerajaan Islam Tanette Sulawesi Selatan tahun 1856.

Kedua Raja Perempuan ini merupakan tokoh pada masanya yang bukan saja sebagai penguasa politik, tetapi juga menaruh perhatian terhadap pendidikan. Di bawah kekuasaan Safiatuddin, ada tokoh-tokoh ilmuwan muslim seperti Abdurrauf Singkili, Hamzah Fansuri dan Nuruddin Arraniry yang bekerja sebagai guru besar di Jami'ah Baiturrahman. Dan pada masa Aisyah juga didirikan Sekolah pertama di Tanette tahun 1908.

Inilah sebagian kisah dari ribuan kisah militansi seorang perempuan. Yang jikalau kita telusuri lebih jauh, kisah-kisah ini demikian menggambarkan bukan hanya militansi kaum perempuan yang begitu peka terhadap kondisi sosial budaya pada masanya, tetapi juga menggambarkan kemampuan seorang perempuan yang layak diakui.

Lalu apa yang harus dilakukan?

Tak banyak yang akan kita bahas di sini. Karena ribuan ide brilian tak akan tercapai jika hanya dengan berkata. Justru saatnya kita beramal nyata, optimalkan kerja, minimalisir kata. Apalagi jika perkataan itu tak ada maknanya. Oleh sebab itu segeralah bergerak, saudari-saudariku.

Sulit memang. Apalagi masa-masa sekarang, gerakan mahasiswa beserta orang-orang yang menyokong di dalamnya dibenturkan dengan banyaknya kepentingan-kepentingan baik pribadi maupun sekelompok kecil golongan. Yang kepentingan-kepentingan itu acapkali berbenturan dan tak sedikit berakhir pada pragmatisme gerakan.

Khususnya bagi perempuan. Tak sedikit yang meragukan militansi perjuangannya. Karena lemahnya fisik, ia dianggap tak bisa diajak bergerak cepat. Karena “tak lebih rasional” di banding laki-laki, ia dianggap lemot dalam gerakan. Atau jika ia sudah menikah, maka dianggap tak lagi militan karena kesibukannya mengurusi anak dan suaminya.

Oleh sebab itu, tak perlu banyak kata wahai saudariku. Tapi kita perlu pembuktian diri. Buktikan kepada dunia bahwa perempuan adalah sosok perkasa dalam kelembutannya. Tangguh dalam kehalusan budinya. Tegar dalam “ringkih” tubuhnya. Mulia karena kasih sayangnya. Dan menawan karena sinaran akhlaqnya.

Maka…Bergeraklah!!! Karena diam itu mematikan!!!