Asri AyuSyar'i

Kamis, 12 Februari 2015

Review Lipstik-Lipstikku




Hai semuanya! Lagi sehat, kan? Lagi musim hujan dan banjir, nih. Makanya jaga kesehatan ya, biar gak sakit. Minum suplemen buat daya tahan tubuh, seperti madu, habbatussauda, atau sakatonik liver. Jangan lupa jaga kebersihan rumah juga, biar gak jadi sarang nyamuk.

Kali ini saya akan review produk kosmetik lagi. Kali ini kita ngomongin lipstick, ya. Ngemeng-ngemeng... eh, maksudnya ngomong-ngomong soal lipstick, saya yakin ini adalah must item yang semua wanita pasti punya. Ya, pasti punya. Kalo soal dipakai nggak, itu sih soal lain he he. Nah, lipstick yang bisa membuat bibir kita berwarna dan terlihat lebih segar ini, sudah diproduksi oleh banyak produsen. Saya sendiri punya beberapa merek lipstik... dan lipstik-lipstik itulah yang akan saya review.

Pertama Lipstik Wardah. Seperti yang pernah saya review di postingan lalu, saya cocok dengan produk kosmetik dan skin care dari WARDAH, dan lipstik termasuk juga. Lipstik WARDAH yang saya punya adalah yang jenisnya matte dengan warna cenderung peach. Di wadahnya tertulis WARDAH no 12. Kelebihan dari lipstik WARDAH adalah ragam warna yang banyak dan cantik-cantik, juga kemasannya yang elegan. Namun kekurangannya adalah lipstik WARDAH menurut bibir saya (he he) menyebabkan bibir kering. Baru saja dipakai satu jam kemudian bibir udah kering dan pecah-pecah, bahkan mengelupas. Kalau saya coba pakai lip balm dulu sebelum pakai lipstik ini, hasilnya jadi kurang cantik dan cenderung tidak merata warnanya. Jadi, biar warnanya merata pakainya harus tebal-tebal. Haduuh, padahal saya tidak suka pake lipstik tebal. Ntar bibir saya jadi tambah dombleh ^^.

gambar dari internet

Nah, lipstik kedua yang aku punya adalah lipstik Maybeline. Ehm, lebih tepatnya sih lip balm ding he he.
Nah, lip balm dari Maybeline ini kece badai banget! Lebih tepatnya, cool dan paling oke menurutku. Meski lip balm, tapi yang satu ini sudah ada sediit warna, jadi gak ditambah lipstik pun udah tampak manis dan ceria he he. Cuma emang agak kinclong sih, alias seperti habis makan gorengan. Makanya gak sering-sering aku pakai. Sayang banget, saya gak tahu keberadaannya di mana... emang sering ilang atau nyelip sih.

gambar dari internet

Selanjutnya adalah lipstik Just Mist warna fucia...
Ini sebenarnya hasil beli iseng aja. Jadi waktu itu saya lagi hamil tua, udah mau HPL gitu. Tapi karena bosen gila, saya ngajak suami dan adik ipar ke SGM (Solo Grand Mall). Nah, pas lewat sebuah toko yang masang banner Sale 50%, mampir deh. Akhirnya dapat tuh lipstik. Harganya murah, cuma 13.000. tapi pas aku pakai, ehmm.... big no no! Udah warnanya gak cocok sama kulit gelapku, ditambah kering banget kayak tempe kering, eh, kayak kue kering. Jadi, nih lipstik jarang banget kupakai, malahan sering kupakainya buat jadi eye shadow! Ha ha lumayan deh. Bagus kok buat eye shadow.


 gambar dari internet

Aku juga pakai lip gloss. Mereknya Lip ice dan Just Mist. Kalo yang Lip Ice lumayan enak lah... gak terlalu kinclong. Harganya juga gak mahal. Tapi yang Just Mist ini kinclong banget. Makanya biasanya cuma kupakai dikit banget... makanya sampai sekarang gak habis-habis J.


Terakhir yang mau aku review adalah lipstik Sariayu Kelimutu. Lipstik ini hadiah dari temenku, Dilla. Dilla itu temen lama dan temen bisnis sewa baju pengantin. Jujur, ini pertama kalinya aku pakai lipstik Sariayu (dulu-dulunya gak kepikiran. Dah ngerasa ‘nggak banget’). Tapi begitu aku pakai ... wuss, rasanya lembuut banget. Cuma sayang warnanya agak tua buat kulit saya. Tapi kelebihan lainnya adalah warnanya cukup tahan lama. Ditambah wangi permen karet yang menggoda (ceileeh J), rasanya pengen pake terus nih lipstik. Dan, saat ini... lipstik Sariayu Kelimutu ini adalah lipstik terbaik yang saya punya.  

Dan... taraaa! Ini dia penampakan goresannya!

Hasil goresan 4 merek lipstik dan lipgloss
Dari kiri ke kanan (Wardah, Sariayu, Just Mist Lipstik, Just Mist Lip gloss).

Minggu, 08 Februari 2015

Muslimah, Kudu Mandiri Finansial!




Seorang muslimah sebaiknya mandiri secara finansial. Mengapa? Karena dengan kemandirian finansial, seorang muslimah menjadi sosok yang bebas, mempunyai citra diri yang baik, kepercayaan diri yang tinggi serta mampu beribadah dengan baik.
Apa maksudnya menjadi sosok yang bebas? Apakah itu berarti dia bebas melakukan segalanya atau bisa mengatur suaminya (jika sudah bersuami)? Ho ho tentu bukan ini maksudnya. Menjadi sosok yang bebas maksudnya adalah, muslimah yang mandiri secara finansial akan “bebas untuk menjadi dirinya sendiri”. Masih bingung nih, maksudnya apa, sih? Maksudnya adalah bisa hidup sebagai dirinya sendiri, bukan sebagai perempuan yang berada dalam tekanan orang lain. Penulis kerap menjumpai wanita yang berada dalam tekanan demi tekanan atau istilahnya “terkungkung” oleh orang atau keadaan.
Ini beberapa contoh kasus wanita “terkungkung” (kisah nyata):
Kisah 1
Namanya Ria, dia seorang muslimah. Dia berniat untuk menikah dengan seorang muslim yang baik. Orang tua Ria setuju, namun mereka ingin menggelar pesta walimah dengan adat Jawa kental (pake siraman, injek telor, dandan menor, gendong2an, dll). Ria tentu saja menolak. Ria ingin tidak usah pake walimahan saja daripada harus pake adat Jawa. Tapi, orang tua Ria tegas menolak. Bahkan mengancam untuk tidak akan merestui pernikahan jika tidak “manut” dengan cara orang tuanya. Apalagi orangtuanya bilang, “Yang nyari duit untuk nikahmu itu kami. Kamu gak punya modal. Jadi jangan macam-macam dan tinggal beres saja!.” Wuiiiih, ngeri dah! Terpaksa nih Ria akhirnya melangsungkan walimahan dengan adat Jawa kental diiringi rasa malu kepada para sahabat dan adik-adik mentornya.

Kisah 2
Siti bingung saat teman-teman pengajiannya meng-sms. “Koq beberapa kali nggak datang, ukh?”
“Anti sakit, ya?”
“Ada yang bisa dibantu?”
Siti bingung mau menjawab apa. Dia sebenarnya ingin sekali datang “pengajian rutin”, tapi apa daya. Dia tidak punya ongkos, padahal untuk sampai ke tempat pengajian dia harus menggunakan bus. Sebenarnya dia ingin mbonceng temannya, tapi teman-temannya sudah punya partner boncengan masing-masing. Mau bilang, tapi Siti malu. Akhirnya dia memilih mengurung diri di kosnya.
Begitulah, saat uang kiriman orangtuanya—yang cuma segelintir itu—habis, dia ‘terpaksa’ tidak bisa menghadiri pengajian atau kegiatan-kegiatan dakwah lainnya (yang biasanya memerlukan biaya). Ehmmm, rupanya Siti “terkungkung” ekonomi.

Kisah 3
Fitri adalah seorang ibu dengan tiga anak. Suaminya kerja serabutan (tapi lebih sering tidak bekerja). Jangankan untuk berinfak, untuk makan dan biaya hidup lainnya sungguh sulit bagi keluarga itu. Sejak dulu Fitri tidak terbiasa mencari penghasilan, dia selalu menggantungkan kepada orangtuanya. Dia tidak menyangka, ketika menikah justru kesulitan ekonomi yang didapatkannya. Apalagi suaminya ternyata malas-malasan bekerja. Akibatnya, Fitri bingung sendiri. Mau kerja, bingung karena tiga anaknya tidak bisa ditinggal, dan suaminya melarang kerja di luar rumah.
Seorang temannya memberinya saran untuk bisnis dari rumah, entah online atau yang lain. Tapi, Fitri juga tidak bisa. Alasannya… ENTAHLAH. Akhirnya Fitri menghutang sana sini. Profesinya sekarang adalah PENGHUTANG. Dan itu cukup meresahkan kawan-kawannya. Bukan karena tidak mau dihutangi, tapi… hey!! Ini bukan kebiasaan baik, kan?!

Kisah 4
Seorang ibu pernah bertanya dalam sebuah pengajian ibu-ibu. “Bagaimana jika suami kita orangnya kasar, suka memukul, tidak mau shalat, tidak mau puasa dan sering melarang kita ikut pengajian. Apa yang harus kita lakukan?”
Saat Ustadzah pengisi menjawab, “Nasehatilah suami anda dengan cara yang baik.” Ibu tadi justru menjawab bahwa ia sudah berbicara dengan baik kepada suaminya tapi tidak mempan. Usut punya usut, rupanya sang suami sejak awal sudah tidak respek kepada sang istri, bahkan sering mengatakan “Yang cari uang itu saya (suami), gak usah cerewet!”. Olala… akhirnya istri itu terpaksa menahan sakit hati terus menerus.
Masih banyak kisah-kisah tentang muslimah yang “terkungkung” lainnya. Keterkungkungan seorang muslimah bukan hanya dikarenakan latar belakang ekonomi, bisa juga karena latar belakang pendidikan, keterampilan, dsb.
Seorang muslimah yang mandiri secara finansial, juga akan mempunyai citra diri yang baik. Apa itu citra diri? Citra diri adalah apa yang anda percayai tentang diri anda sendiri. Bisa juga disebut sebagai persepsi diri.  Citra diri yang baik adalah ketika kita percaya bahwa kita ini kuat, baik, sabar, sama derajatnya dengan orang lain, tidak minder, merasa cantik (bukan narsis lho ya ^^), dan segala macam persepsi positif lainnya.
Sedangkan citra diri yang buruk adalah ketika kita percaya bahwa kita lemah orang lain kuat, kita budak orang lain majikan, terjajah, orang lain lebih tinggi dari kita, minder, rendah diri, penakut, jelek, gendut ginuk-ginuk (halah opo toh iki ^^v), dan segala hal negatif lainnya.
Banyak penelitian yang menyimpulkan, bahwa wanita yang mandiri secara finansial maka citra dirinya baik dan meningkat—ketimbang yang “terkungkung” dalam masalah finansial.
Selain alasan di atas, alasan yang paling mendasar mengapa muslimah kudu mandiri secara finansial? Jawabannya adalah karena dengan kemandirian finansial itu banyak ibadah yang bisa dilakukan. Sedekah, melaksanakan haji, memberi nafkah anak yatim, memberi buka puasa, membebaskan Palestina, hingga berjihad.
Sedekah memang bisa dengan apa saja, bahkan senyum saja sedekah bukan? Tapi, apa iya kita mengharapkan surga dengan amalan senyuman saja?
Bukankah Allah berfirman:
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antara kamu, dan belum nyata orang-orang yang bersabar.” (QS Ali Imran: 42)
Yang kemudian dijelaskan lebih rinci apa saja bentuk jihad itu dalam ayat yang lain:
“(Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui.” (QS As-Shaff: 11)
Lihat! Nyata bukan?! Bahwa Allah yang meminta diri kita untuk berjihad dengan harta juga. Kita di sini bukan hanya untuk muslim (laki-laki) saja, tapi juga untuk perempuan. Karena perempuan itu sosok “bebas”, masuk surga atau neraka tidak ditentukan laki-laki (ayah atau suaminya) melainkan dengan amalnya sendiri.
Simak, deh!
Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang jujur, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah (berdzikir), Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al-Ahzab: 35)
Jika seorang muslimah mandiri secara finansial, hal itu juga bisa membantu ekonomi keluarga. Dan itu  pun termasuk ibadah (sedekah). Apalagi jika keuangan suami tidak mencukupi untuk hidup sehari-hari (makan, sekolah, baju, dsb).
Allahu Akbar!
Mari kita tengok sosok Bunda Khadijah r.a. Beliau adalah seorang wanita pebisnis. Harta kekayaannya melimpah. Namun, beliau memang wanita kaya yang mulia. Kekayaannya digunakan untuk menyokong dakwah Rasulullah Muhammad SAW. Hingga Rasulullah SAW sendiri begitu cintanya kepada sang istri. Bahkan perempuan agung ini mendapatkan titipan salam dari Allah melalui malaikat Jibril.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
Jibril datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan berkata: “Sampaikan kepada Khadijah salam dari Allah dan dariku, dan berilah ia berita gembira dengan sebuah rumah di surga yang terbuat dari emas permata. Di dalamnya tidak ada kegaduhan dan tiada pula keletihan.” [HR. Bukhari dan Muslim]
Tak hanya Ibunda Khadijah yang mandiri secara finansial. Mari kita tengok Ibunda Zainab binti Jahsy yang rajin berkarya dengan tangannya sendiri. Beliau pintar membuat anyaman dan menyamak kulit untuk dijual, selanjutnya uang hasil penjualan disedekahkan untuk fakir miskin.
Aisyah r.a. berkata, “... ternyata yang terpanjang tangannya di antara kami adalah Zainab sebab dia sudah biasa berusaha dengan tangannya sendiri dan bersedekah.” (HR Muslim)
Dalam hadits lain diceritakan.
Jabir mengatakan bahwa Nabi saw. datang menemui istri beliau, Zainab yang kebetulan waktu itu sedang menyamak kulit ...” (HR Muslim).
Al Hafizh ibnu Hajar menyebutkan dalam Kitab Al-Fath bahwa al-Hakim meriwayatkan dalam kitab Al-Mustadrak—dia berkata menurut syarath Muslim—bahwa Zainab binti Jahsy adalah seorang wanita perajin. Dia ahli menyamak dan menjahit kulit dan dengan hasil usahanya itu dia bersedekah pada jalan Allah.”
Subhanallah, ya!
Ada lagi nih tokoh Zainab di zaman Nabi saw. yang terkenal karena bekerja untuk menafkahi suami dan anak yatim. Beliau adalah Zainab istri dari shahabat Abdullah Ibnu Mas’ud.
Zainab, istri Abdullah Ibnu Mas’ud, berkata: “Pada waktu aku berada di masjid, lalu aku melihat Nabi saw. Beliau bersabda, ‘Bersedekahlah kalian (hai kaum wanita) meskipun dengan perhiasan kalian!’ Sedangkan Zainab sendirilah yang memberi nafkah (suaminya) Abdullah dan anak-anak yatim yang dia pelihara. Zainab berkata, “Lalu aku pergi menemui Nabi saw. Aku temukan seorang wanita Anshar berada di dekat pintu rumah Nabi saw. dan keperluannya sama dengan keperluanku. Lalu lewat Bilal dekat kami, dan kami bertanya kepadanya: ‘(Hai Bilal) tanyakanlah kepada Nabi saw., apakah sah apabila aku memberikan nafkah kepada suami dan anak-anak yatim yang aku pelihara?” Bilal pun masuk dan menyampaikan pertanyaan aku itu kepada Nabi saw. Beliau menjawab, ‘Ya, sah, dan baginya dua pahala: pahala kerabat dan pahala bersedekah.’” (HR Bukhari dan Muslim) (Kebebasan Wanita, Jilid 1, Abdul Halim Abu Syuqqoh)
Nah kan, ternyata Islam tidak melarang muslimah untuk bekerja mencari nafkah. Malahan muslimah yang bekerja dan hasilnya digunakan untuk nafkah keluarga dan sedekah itu luar biasa pahalanya. Tapi bekerja di sini tidak berarti harus bekerja kantoran, boleh kok bisnis sendiri atau bisnis dari rumah. Kelebihan bisnis sendiri atau bisnis dari rumah adalah mempunyai waktu yang fleksibel, tidak terikat jam kantor yang padat. Selain itu kita juga punya waktu cukup untuk menyelesaikan pekerjaan rumah dan mengasuh anak-anak kita.
Lalu, bagaimana jika muslimah bekerja di luar rumah? Ehm, tampaknya bukan masalah “bekerja atau tidak” yang menjadi masalah, karena sudah jelas itu dibolehkan. Sebagaimana beberapa hadits di atas. Yang menjadi kontroversi mungkin adalah ‘di luar rumah’. Boleh tidak, ya? Untuk menjawab hal itu, kita semestinya tidak langsung menghakimi “tidak” atau “boleh” tapi harus dilihat dari banyak faktor. Salah satunya adalah faktor uzur syar’i yang membuatnya harus keluar rumah. Jika ada uzur syar’i yang membuatnya harus keluar rumah, maka wanita dibolehkan keluar rumah. Misalnya harus hijrah, ikut beribadah, ikut berperang, ikut berdakwah, mengobati orang, mendidik, mengingatkan penguasa yang zalim dan sebagainya.
Banyak sekali kisah sahabiyah Nabi saw. yang keluar rumah untuk melaksanakan tugasnya. Ayo, kita simak beberapa kisah di bawah ini! Cekidot!
Jabir bin Abdullah berkata, “Bibiku dicerai dan dia bermaksud hendak mengambil buah kurma (bertani) pada masa ‘iddahnya. Namun, ada seorang laki-laki menghardiknya agar jangan keluar dari rumah. Lalu bibiku pergi menemui Rasulullah saw. (untuk menanyakan masalah itu). Nabi saw. berkata, “Tidak apa-apa, potonglah buah kurmamu. Barangkali dengan begitu kamu bisa bersedekah atau melakukan sesuatu kebajikan.”” (HR Muslim)
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “... dan Rasulullah saw. menempatkan Sa’ad di tenda Rufaidah di samping masjid beliau. Rufaidah adalah seorang wanita yang sudah biasa merawat orang-orang yang terluka. Lalu nabi saw. berkata, ‘Tempatkanlah Sa’ad di tenda Rufaidah agar aku dekat menjenguknya.’” (Fathul Bari, Jilid 8, hal. 415)
Ruba’i binti Mu’awwidz berkata, “Kami pernah ikut berperang bersama Rasulullah saw. Kami bertugas memberi minum pasukan dan melayani mereka serta memulangkan orang-orang yang terbunuh dan terluka ke Madinah.” (HR Bukhari)
Ummu Athiyyah al-Anshariyah berkata, “Aku ikut berperang bersama Rasulullah sebanyak tujuh kali peperangan. Aku selalu ditempatkan di bagian belakang pasukan. Akulah yang membuatkan makanan untuk mereka, mengobati yang luka-luka, dan membantu yang sakit.” (HR Muslim).
Masih banyak hadits yang mengisahkan bagaimana para shahabiyah Rasulullah saw. ikut keluar rumah untuk beragam aktivitas positif. Jadi, jangan takut jika kita memang harus bekerja di luar rumah. Namun, ada beberapa hal yang harus muslimah perhatikan apabila ingin bekerja di luar rumah.
  1. Bekerja dalam bidang yang positif dan minim fitnah. Jangan bekerja di tempat yang banyak fitnah. Misalnya bekerja di tempat yang mengharuskan laki-laki perempuan campur baur. s
  2. Tetap menutup aurat dengan sempurna. Jangan lupa itu, ya!
  3. Menjaga adab berbicara dan berinteraksi dengan laki-laki non mahram. Sopan, tidak urakan, jaga kehormatan.
  4. Menyeimbangkan waktu bekerja di luar rumah dengan tugas di dalam rumah. Jangan timpang! Usahakan tidak bekerja di luar rumah pada saat malam hari kecuali ditemani mahram.
  5. Mendapatkan ijin dari suami atau wali. Suami adalah wali kita saat sudah menikah, maka kita perlu mendapatkan ridho dari mereka ketika hendak keluar rumah. Itulah adab dalam Islam.
Nah, bagaimana Sahabat Muslimah? Sudah terang benderang, kan? Kini tidak ada alasan muslimah memble dalam finansial. Tak inginkah kita seperti Bunda Khadijah, Zainab binti Jahsy dan muslimah lain yang memberikan banyak manfaat bagi umat dari kekayaan yang mereka hasilkan sendiri. Ayo, muslimah kudu mandiri finansial!

#Dicuplik dari buku saya yang berjudul "Kamu Cantik dari Hatimu"
 

Kepedulian, Nilai Luhur Bangsa Menuju Kesejahteraan



Indonesia Negara Individualistik (?)
Dewasa ini publik Indonesia banyak digoyang berbagai fenomena, mulai dari goyang Briptu Norman, Bripda Saeful Bachri hingga berbagai konser musik kelas dunia yang menggoyang Indonesia. Sebut saja konser Justin Bieber, 2PM, Roxette, Katy Perry, Steavy Wonder, hingga konser Lady Gaga yang rencananya akan segera menghentak penggemarnya di negeri ini. Dan seiring dengan berbagai fenomena tersebut, khalayak seakan turut serta dalam perputarannya, baik dengan bergunung pujian, dukungan hingga aksi rela merogoh jutaan rupiah demi mendukung dan melihat sang idola. Belum lagi fenomena antrian ratusan bahkan ribuan OKB (Orang Kaya Baru) yang rela berdesak-desakan hanya untuk memuaskan keinginannya memiliki gadget terbaru.
Di sisi lain, ada sebuah fenomena yang justru membuat miris. Mari kita perhatikan, kini di sepanjang jalan raya, setiap kita melangkah sejauh 10-15 meter hampir dipastikan terdapat minimal 1 peminta-minta/gelandangan/pengamen/orang gila. Atau ketika kita melewati TPA (tempat pembuangan akhir) maka akan kita dapati pemandangan banyaknya manusia yang mengerumuni sampah dan mengorek-orek mencari barang yang masih layak dijual. Melihat hal itu kebanyakan masyarakat kita cuek dan tidak peduli. Apa artinya ini?
Jika kita jeli mengamati, dua fenomena yang kontradiktif tersebut mencerminkan keadaan bangsa yang amat memprihatinkan. Bisa dibilang bangsa ini mulai jatuh ke arah negara individualistik. Apa itu negara individualistik? Dalam pidato Prof. Mr.Dr.R. Soepomo pada saat rapat Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPPKI), beliau menjelaskan bahwa dasar sebuah negara itu terbagi menjadi tiga, yaitu Negara Individualistik (Teori Individualistik), Negara Kelas (Teori Kelas) dan Negara Integralistik (Teori Integralistik/Persatuan).
Yang dimaksud dengan Negara Individualistik mengajarkan bahwa negara adalah masyarakat hukum (legal society) yang disusun atas kontrak antara seluruh perorangan dalam masyarakat itu (contract social). Teori Individualistik ini menginginkan setiap orang dalam suatu negara bebas mempunyai kehendak serta mementingkan kehendak (hak) perseorangan di samping kepentingan masyarakat atau negara. Teori yang dipelopori oleh Thomas Hobbes (1688-1779) dan Herbert Spencer (1820-1903) ini diterapkan di negara-negara Eropa Barat dan Amerika.
Di negara-negara Eropa Barat dan Amerika, teori ini menghasilkan sikap yang sangat menjaga hak perseorangan bahkan bisa dikatakan bebas mengambil hak perseorangan tanpa peduli dengan hak orang lain. Negara pun diharuskan memberikan jalan yang seluas-luasnya untuk pemenuhan hak itu. Liberalisme, itu intinya.
Di Indonesia sendiri akar-akar individualistik nampaknya semakin kentara menyusul tercerabutnya akar-akar kepedulian, kebersamaan dan persatuan. Hal ini terlihat dengan semakin apatisnya masyarakat Indonesia dengan kondisi orang lain. Miskinkah, bodohkah, sehatkah, rupanya tak lagi menjadi kepedulian bagi bangsa ini. “Ngapain mikirin perut orang lain, mikirin perut sendiri saja susah!” begitu pendapat sebagian besar masyarakat kita. Maka sangatlah wajar jika sebagian kita lebih senang membuang uang jutaan rupiah demi Justin Bieber, Katy Perry dan Lady Gaga, ketimbang sekedar memberikan 50 ribu untuk santunan anak yatim.
Tengoklah Negara-negara Maju Itu!
Seharusnya bangsa ini mulai menengok kondisi negara-negara Eropa dan Amerika yang dibangga-banggakan karena kebebasan HAM-nya. Dalam sebuah penelitian (Pen, The Eighth United Nations Survey on Crime Trends and the Operations of Criminal Justice Systems) yang dilakukan oleh United Nations Office on Drugs and Crime, Centre for International Crime Prevention pada tahun 2002, menempatkan Amerika sebagai negara paling tinggi kriminalitasnya, menyusul di bawahnya Inggris dan Jerman.
Sementara itu pada tahun 2009, Kementerian Kehakiman AS menyebutkan bahwa kejahatan di Amerika mencapai 4.300.000 kasus lebih terkait pemerkosaan, perampokan dan penganiayaan. Serta 16 ribu kasus pembunuhan yang dilaporkan secara resmi ke kepolisian (www.IslamTimes.com).
Kriminalitas salah satunya disebabkan oleh rendahnya tingkat ekonomi suatu masyarakat. Hal ini dikuatkan dengan pernyataan Jeanne Manik, Dosen Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial UBB (Universitas Bangka Belitung). “Tingkat kebutuhan ekonomi dan tingginya harga barang membuat orang melakukan kejahatan dengan mencuri. Penghasilan yang mereka dapatkan tidak mencukupi kebutuhan keluarganya.”
Sebenarnya permasalahan ekonomi memang bukan satu-satunya pemicu kriminalitas. Seperti contoh kriminalitas di Negara Amerika di atas, justru permasalahan kesenjangan sosial yang tinggi ditambah hilangnya kepedulian terhadap sesama lebih menjadi faktor yang tidak terbantahkan. Maka bukan hal yang mengejutkan jika di hampir seluruh negara, tak terkecuali Indonesia, berbagai ragam kasus kriminalitas menjadi kisah keseharian masyarakatnya.
Belajar Peduli dari Muhammad Natsir
Indonesia sendiri sebenarnya dikenal sebagai bangsa besar yang memiliki nilai-nilai yang sangat luhur. Sejak dulu kita mengenal konsep gotong-royong, konsep kekeluargaan dan konsep musyawarah, di mana konsep-konsep tersebut menggambarkan tentang jiwa bangsa Indonesia yang mencintai persatuan dan peduli terhadap sesama. Padahal, pada masa lalu tingkat ekonomi bangsa Indonesia tidak jauh beda dengan masa sekarang. Akan tetapi nilai-nilai luhur itulah yang menjadikan situasi bangsa dulu dan kini menjadi sangat berbeda.
Adalah Muhammad Natsir, seorang negarawan muslim yang sangat peduli terhadap nasib bangsanya. Beliau mencurahkan segenap tenaga dan pemikirannya untuk mengangkat harkat dan derajat bangsanya. Tak hanya dalam masalah politik, beliau juga mengajarkan kita semangat saling bahu membahu meringankan sesama dalam usaha mencapai kesejahteraan bersama.
Sebuah kisah tentang hal itu nyata ditorehkan pada masa peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru. Muhammad Natsir yang telah bebas dari penjara Orde Lama kembali ke Sumatera Barat, kampung halamannya. Di sana, negarawan tersebut langsung dihadapkan dengan berbagai kisah memilukan akibat serangan pemerintah Orde Lama terkait isu pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia). Mulai dari pengangguran yang banyak, para pemuda yang putus sekolah, sumber ekonomi masyarakat yang tidak memadai, hingga ratusan rumah masyarakat yang terbakar.
Muhammad Natsir tidak tampil hanya dengan unjuk gigi—bahasa sekarang, asal komentar—tapi beliau langsung terlibat dalam memberi solusi untuk masyarakat Minangkabau saat itu. Maka digulirkanlah konsep mawaddah fil qurba (kasih sayang untuk orang terdekat), yaitu dengan menghimpun kain, pakaian dan uang dari para pemimpin perjuangan maupun orang Minang pada umumnya, yang ada di Sumatera Barat dan yang tersebar di seluruh Indonesia.
Hasilnya, luar biasa. Tak memerlukan waktu lama bagi Nagari Minangkabau untuk berbenah diri.  Bahkan pada saat Irian Jaya baru masuk menjadi bagian dari NKRI, orang-orang Minang sudah sukses dan menyebar seantero Nusantara dengan restoran Padang-nya.
Untuk itulah sudah saatnya bangsa ini kembali kepada jiwa bangsa ini—kembali kepada nilai-nilai luhur bangsa ini. Mulailah membuka mata, pendengaran dan hati kita agar lebih peka dan peduli terhadap sesama. Dari kepekaan dan kepedulian itulah persatuan dan kesejahteraan bangsa bisa diwujudkan.
Sumber:
1.      Kumpulan Taushiyah Dr. Mohammad Natsir “Hidupkan Dakwah Bangun Negeri”
2.      Pidato Prof. Mr.Dr.R. Soepomo dalam rapat Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPPKI) pada tanggal 31 Mei 1945.
3.      Bangka Pos.com
4.      www.IslamTimes.com 

*Pernah dimuat di majalah NH. Sekarang bernama Majalah GIVE Nurul Huda Islamic Center.