Asri AyuSyar'i

Kamis, 07 April 2011

Ayo Menulis Nonfiksi!


Sering saya mengamati berbagai pelatihan kepenulisan. Dari sekian banyak pesertanya ternyata sebagian besar cenderung memilih Fiksi sebagai fokus penulisannya. Awalnya saya tidak terlalu ambil pusing dengan hal itu, saya menganggap hal itu wajar mengingat kebanyakan dari peserta pelatihan kepenulisan tertarik menulis memang diawali dari kesukaan mereka membaca karya-karya fiksi semacam novel dan cerpen.

Namun hal itu menjadi keheranan saya pribadi ketika melihat perkembangan sebagian besar peserta kepenulisan yang meski telah menginjak tahun kedua atau ketiga masih mendikotomikan penulisan fiksi dan nonfiksi. Pendikotomian yang dimaksud yaitu lebih menfokuskan yang satu (fiksi) dan tidak mencoba yang lainnya (nonfiksi). Atau sebaliknya.

Padahal, seorang penulis diharapkan mampu menulis tak hanya fiksi saja atau nonfiksi saja. Keduanya harus bisa dilakukan. Karena seorang penulis tak hanya harus bisa memunculkan karya fiksinya di koran-koran atau di majalah-majalah, akan tetapi di masa yang lain ia juga harus mengisi rubrik-rubrik atau kolom-kolom opini yang tersebar di koran atau majalah.

Jika alasan menfokuskan diri dikarenakan lebih karena kesukaan, misalnya lebih suka menulis fiksi ketimbang nonfiksi, okelah. Karena tidak mungkin memaksakan seseorang untuk menulis apa yang tidak ia sukai. Akan tetapi jika alasannya lebih karena “merasa” tidak bisa menulis nonfiksi dan “merasa” lebih mudah menulis fiksi. Nah, itu yang perlu kita luruskan bersama-sama.

Sebelumnya, mari kita mengenang terlebih dahulu pelajaran-pelajaran awal kita saat pelatihan, yaitu definisi karya fiksi dan karya nonfiksi. Secara singkatnya karya fiksi dapat diartikan sebagai karya imajiner dan estetis. Prosa dalam pengertian kesusastraan juga disebut fiksi (fiction), teks naratif (narrative text) atau wacana naratif (narrative discource). Istilah fiksi dalam pengertian ini berarti cerita rekaan (cerham) / cerita khayalan. Hal itu disebabkan fiksi merupakan karya naratif yang isinya tidak mengarah pada kebenaran sejarah. (Abrams, 1981:61)

Ciri-ciri karya fiksi antara lain:
1. Memiliki gagasan berupa ide yang akan diuraikan dalam cerita.
2. Memiliki alur/plot, yakni jalinan peristiwa sehingga tergambar urutan kejadian.
3. Penokohan yang merupakan pencitraan dari tokoh yang diceritakan.
4. Latar (setting) yang menjelaskan mengenai dimensi ruang dan waktu serta suasana dalam sebuah cerita.
5. Sudut pandang kepenulisan, berupa posisi penulis dalam cerita. Penulis bisa menjadi tokoh maupun narator yang menjelaskan cerita.

Sedangkan definisi karya nonfiksi adalah tulisan-tulisan yang isinya BUKAN FIKTIF, bukan hasil imajinasi/rekaan si penulisnya. Dengan kata lain, NONFIKSI adalah karya tulis yang bersifat factual (objektif). Hal-hal yang terkandung di dalamnya adalah nyata, benar-benar ada dalam kehidupan kita. (Jonru 2008)

Adapun ciri-ciri karya non fiksi antara lain:
1. Mengandung informasi yang sesuai dengan fakta (objektif)
2. Memiliki ide yang ditulis secara jelas dan logis serta sistematis
3. Memakai bahasa berciri tepat, singkat, jelas, resmi dan teratur agar efektif.

Melihat dari definisi dan ciri-ciri di atas, sebenarnya tidak ada klausul yang menjelaskan tentang mana yang lebih mudah dan mana yang lebih sulit. Semua berpotensi untuk menjadi sama-sama mudah atau bahkan sama-sama sulit. Hal itu bergantung kepada setiap individu penulisnya.

Perlu dipahami bahwa menulis fiksi tidak hanya mengandalkan daya imajinasi semata. Dalam penggarapannya, ia memerlukan ketajaman sebuah analisa (misalnya tulisan yang bergenre thriller atau misteri), kekuatan emosi (misalnya novel yang menceritakan tentang romantisme dan tragedi), bahkan ia juga memerlukan sentuhan gaya bahasa yang gemulai. Dan kesemuanya adalah pekerjaan yang tidak bisa dianggap mudah. Jadi lucu jika kita mengatakan, “Saya lebih mudah menulis cerpen. Karena menulis cerpen bisa selesai hanya semalam atau beberapa jam saja.” Oke, mungkin memang bisa selesai, tapi apakah hasilnya bagus, tentu belum ada jaminannya.

Adapun menulis nonfiksi sebenarnya tidaklah sesulit yang dibayangkan. Tidaklah harus menguasai EYD baru bisa menulis nonfiksi. Tidak harus terbatasi dengan “kewajiban” menggunakan bahasa-bahasa baku, formal dan kaku. Serta tidak harus menulis hal-hal besar yang membutuhkan penelitian dan analisa yang memusingkan.

Sahabat semua! Jika diperhatikan sekarang banyak bermunculan buku-buku nonfiksi yang bahasanya gaul, renyah, luwes dan ringan untuk dibaca. Bahkan pernah saya membaca buku tentang “diary” atau kisah hidup seorang penulis--yang ditulis dengan lucu dan konyol—yang sebenarnya tidak begitu penting untuk dibaca he he (maaf bagi yang nulis). Intinya, menulis nonfiksi itu adalah TIDAK SULIT! Asalkan ada kemauan tentunya.

Sebagai penutup, saya ingin menegaskan. Bahwa, sebenarnya syarat menulis itu mudah. Kata teman saya formulanya cuma 3, menulis…menulis…dan menulis! Sedangkan kata saya menulis itu adalah proses dari input data (informasi), mengolah data (kontemplasi) dan pendadaran (menuangkan dalam bentuk tulisan). Sederhana bukan?! So, ayo kita menulis nonfiksi!