Asri AyuSyar'i

Kamis, 19 April 2012

Kontroversi Status Pribadi di Jejaring Sosial



Bismillahirrohmanirrohiim…
Tulisan ini adalah renungan saya selama beberapa waktu setelah terdengar hiruk pikuk tentang masalah etika berjejaring sosial. Saya mencoba mengungkapkan pendapat pribadi saya yang saya ambil dari banyak sudut pandang. Semoga bermanfaat …

Jaman dahulu kala (saat monyet masih cari kutu sambil garuk-garuk kepala, ayam masih suka berkokok ‘kukuruyuuuuuk’ di pagi hari, dan burung-burung masih semanis Tweety). Pada jaman itu kehidupan tidak sehiruk pikuk ini. Pagi hari bangun pagi, melaksanakan ritual sembahyang kepada Tuhannya, menghidupkan kompor dan tungku untuk menyediakan sarapan. Dilanjutkan berangkat kerja dengan dandanan klimis, hormat pada atasan, bekerja dengan baik dan disiplin, hingga akhirnya pulang ke rumah dengan pikiran senang, meski nunggu gaji masih setengah bulan lagi ^^. Sesampainya di rumah keluarga adalah segalanya, bermain dengan anak, bercanda dengan pasangan, makan malam bersama, nonton tivi bersama, dan terakhir tidur bersama (soalnya kamarnya Cuma satu ^^).

Pada jaman dulu (saat anak SD masih pegang tali, anak SMP masih malu-malu dengan lawan jenis, dan anak SMA tidak sepusing saat ini kala menghadapi UN). Saat itu hampir setiap minggu kita bisa dolan (main) ke rumah teman kita, sekedar ngobrol, lotisan, ngrampok mangga di rumah teman, hingga silaturahim dengan niatan yang baik (he he emang ada silaturahim niatnya gak baik? ^^). Jaman itu memang semua momen bisa menjadikan setiap kita mudah berkumpul dengan orang lain, baik teman maupun lawan (lawan di sini lawan main kasti maksudnya). Tanpa ada miscall-miscall-an semua bisa kumpul “blek” di suatu tempat yang sudah kita janjian sebelumnya. Tanpa sms jarkom demo dan aksi jalanan sangat banyak pesertanya. Tanpa jarkom sms yang dibumbui kata “wajib hadir” pengajian akbar dan temu kader (kader posyandu contohnya ^^) peserta tumplek ‘blek’.

Itu jaman dulu … sekali lagi jaman dulu … saat anak kecil lebih suka ngompol di popok ketimbang di pampers. Nah, gimana nih jaman sekarang. Yuuuuuk kita tarik dan lipat waktu hingga ke jaman sekarang.

Pada jaman sekarang (saat monyet lebih suka nangkring sambil pesbukan, saat ayam digantikan burung tweety yang nge-tweet sepanjang siang dan malam, dan burung-burung sekarang jadi mutant karena marah-marah terus *nunjuk-nunjuk Angry Birds pake kemoceng*). Pada jaman sekarang ini aktivitas pagi diawali ngetweet status “mau sembahyang tahajud dulu ya, yuk tahajud, tahajud bikin hidup lebih hidup, ora tahajud uripmu benjut, de es be de es be.” Setelah nyetatus baru deh tahajud. Lalu setelah subuh nyetatus lagi “Tilawah yuuuuuk, ma’tsuratan yuuuk, muroja’ah sama suami/istri tercinta uhuuuuy, tidur lagi ahhhh, de es be de es be.”

Begitu sampai di tempat kerja yang pertama kali dilakukan adalah buka pesbuk, twitter, trus nyetatus. “Murid-muridku lucu-lucu kayak gurunya hi hi, nasib jadi pewai rendahan ya kayak gini, ini taushiyah hari ini: bla bla bla, sesungguhnya bla bla bla, de el el de el el.” Setelah itu liat-liat status orang, nge-like, ngoment, de es be de es be. Setengah jam sendiri untuk buka pesbuk dan twitter, baru setelah itu ngerjain tugas kantor, itu pun dengan diiringi setiap sejam sekali bukan pesbuk dan twitternya. Dalam hati bertanya, “Ada yang ngomentar gak ya? Ada yang suka gak ya? Followerku nambah gak ya?”. Begitu seterusnya sampai jam pulang kantor.

Sampai di rumah, bukannya meluk anak istri malah meluk BB sambil asyik BBM-an, topik di forum diskusi BB emang lagi hit, apalagi kalau bukan tentang kekalahan Barca melawan Chelsea semalam. Wuiiih seru nihhhh. Sang istri tak mau kalah, dengan BB merek cina yang harganya 500 ribuan dia nyungsep di belantara pesbuk sambil chating dengan teman pesbuk *bacanya ala fitri imut di iklan XL*, pake curhat-curhat segala macam nih, “Tau gak Sis, suamiku tuh udah gak sayang sama aku, dia itu bla bla bla *curcol bo*”. Hadeeh.

Dan si anak rupanya tak mau kalah juga, dengan laptop Papa yang dicolong dari tas kantornya dia mulai buka pesbuk. Ehh, tapi si anak ini bukannya mau say hello dengan teman-teman pesbuknya, doi lebih milih buka games online via pesbuk. Apalagi kalau bukan games adu domba eh maksudnya adu burung ama babi *lagi-lagi nunjuk-nunjuk Angry Birds pake sikat gigi*. Begitu setiap harinya. Ehmmm … emang hidup makin hiruk pikuk ^^.

Pada jaman sekarang pula (saat anak SD megangnya HP pake tipi, anak SMP suka bikin video mesum (naudzubillah), dan anak-anak SMA yang milih nikah ketimbang UN atawa pilih ijabsah ketimbang ujian sah ^^). Pada saat ini pula (kebanyakan ‘pula’ kayaknya), sms sehari bisa 100 kali (nasib tukang jarkoman  ) sampe-sampe para pemilik provider kartu telepon seluler banting-banting diskon dan kasih bonus sms setinggi langit. Ini contohnya: pakai 2 sms dapat 100 sms gratis, pake 10 sms dapat 1000 sms gratis. Hujubuneee!!! 1000 sms untuk sehari, Coy! Ampe kriting jempol tangan kita kalo ngeladeni semuanya. Belum lagi hape BB china sekarang lengkap dengan internet, langsung deh …. Tancap gas!!! Eh maksudnya tancap pesbukan, twitteran, friendster-an, apps-an, de es be de es be.

Nah … nah … itu berbagai fenomena hiruk pikuknya interaksi sosial via dumay dan HP (sms, telp). Emang super heboh nih jaman, hampir-hampir tidak ada hal yang luput dari pengamatan publik, mulai dari berita politik, berita buah bibir alias gosip artis, sampai berita pribadi pun bisa masuk ke ranah publik. Nah, untuk yang terakhir ini (berita pribadi) yang akhir-akhir ini banyak perdebatan di ranah dumay. Apakah berita pribadi alias hal-hal privasi layak diunggah ke jejaring sosial atau media publik? Lalu, apa batasan antara “hal-hal privasi” dengan “hal-hal publik”? Bagaimana pula etika berjejaring sosial?

Sebelum sampai ke masalah pokok alias inti, kita perlu tahu apa definisi jejaring sosial atau social network. menurut Prof J.A Barnes, Jejaring sosial adalah struktur sosial yang terdiri dari elemen-elemen individual atau organisasi. Jejaring ini menunjukan jalan dimana mereka berhubungan karena kesamaan sosialitas, mulai dari mereka yang dikenal sehari-hari sampai dengan keluarga.

Adapun maksud dibuatnya berbagai situs jejaring sosial sebenarnya adalah sarana untuk berkenalan satu dengan yang lain, membentuk komunitas, serta menyatukan banyak orang (minimal dalam jamaah pesbuk). Ya, meski tidak semua orang di pesbuk itu sama tujuan dan visi misi (ceileeeh kayak organisasi aja ^^) antara satu dengan yang lainnya. Ada yang tujuannya menambah sahabat, ada yang pengen bisnis (penulis nyindir diri sendiri neh ^^), ada yang ingin menemukan sahabat lama, ada yang pengen cari sensasi (bikin status gila-gilaan sampai gila sendiri), ada yang pengen jadi artis (unggah video lipsinc ala Sinta Jojo trus di share di mana-mana), ada yang pengen menang lomba (lomba cerpen suruh nge-tag minimal 20 orang …hi hi hi sopo sing sukanya ikut yang kayak gini … hayo ngaku ^^), ada juga yang pengen dakwah (statusnya biasanya hadits dan Al Qur’an. Lha yang statusnya gak hadits dan qur’an berarti gak dakwah dong … hi hi embuhlah).

Nah, dengan semakin banyaknya teman di pesbuk kita atau follower di twitter kita, maka semakinplural-lah latar belakang para pengguna perbuk itu. Dan semakin plural maka semakin beragam dan bervariasilah tujuan-tujuan para penggunanya. Dan, semakin bervariasi tujuan para pengguna pesbuk maka semakin bervariasi tampilan dan gaya orang berpesbuk. Ada yang statusnya lempeng-lempeng aja, ada yang statusnya heboh, ada yang statusnya sedang-sedang aja (kalau sedang heboh ya heboh, kalau sedang lempeng ya lempeng hi hi becanda), ada yang sukanya unggah foto-foto pribadi (mulai dari rumah pribadi, motor pribadi, kucing pribadi, sampai suami atau istri pribadi ^^), ada yang sukanya nge-tag produk bisnisnya sampai menuh-menuhin wall (ishhh, kadang sebel hi hi), juga banyak yang bikin kampanye coblos ini dan itu, eh ketinggalan … ada juga yang sukanya nge-tag lomba ini dan itu tapi gak pernah menang he he becanda, harus tetap semangat dong! Cahyo eh ... Chayo!!!

Nah kan, emang ribet dan hiruk pikuk dunia ini. Udah hiruk pikuk karena banyaknya pengangguran, rumah kumuh, gelandangan, eee masih ditambah dumay yang ikut hiruk pikuk juga. Rasanya mau jedotin kepala, tapi gak jadi deh, masih baru soalnya. Lho???
Ah, ketimbang ngalor ngidul gak jelas, kayaknya harus fokus lagi nih! Oke lanjutkan!!! (gaya SBY, tapi suerrr saya bukan kader partainya koq. So, jangan ikut-ikutan dihajar ya ^^).

Karena orang-orang di pesbuk itu sangat plural, jelas gak mungkin kan kita paksa jadi 1 pola. Ini bukan karena melanggar HAM dan sebagainya, tapi ini murni karena menurut logika gak mungkin manusia disamakan. Satu bapak satu ibu aja beda pendapat tentang makna rumah yang bagus, satu guru satu ilmu aja beda cara praktekinnya, satu lingkaran (lingkaran opo iki?) aja beda tipe ideal calon suami/istrinya—soale nek sama iso rebutan he he. Apalagi ini, lima ribu bapak lima ribu ibu (perhatian! 5000 adalah standar maksimal pertemanan di pesbuk), lima ribu otak lima ribu ide, ratusan daerah dan suku bangsa, 5 agama yang berbeda (misalnya di pesbuk kita berteman dengan berbagai agama), ada yang lulusan SD ada juga yang S3, ada yang pernah ke Korea ada juga yang baru mimpi ke Korea (iki maksude opo tooooh?). Maka, logikanya, dapatkah semua itu dijadikan 1 pola? Jawabnya; TIDAK!!!

Selanjutnya, perbedaan latar belakang rupanya menjadi salah satu sebab bedanya cara komunikasi di antara manusia (tengak tengok anak-anak komunikasi nih). Begitu yang disebutkan dalam berbagai teori komunikasi (teori yang kupakai untuk skripsiku “Komunikasi Multikultural”). Perbedaan latar belakang ini seperti sudah disebutkan di atas, seperti perbedaan keluaraga (cara pendiidkan keluarga), daerah, suku bangsa, agama, dan geografis. Contoh kecilnya bahasa jawa. Orang di Solo pake bahasa jawa dan biasanya logatnya halus (pake kata-kata “ngapunten, nggih, sendiko dawuh Kangmas”), perhatikan dengan bahasa jawa daerah barat Purbalingga, Kebumen, Cilacap, de el el. Bahasa jawa ngapak biasanya logatnya lebih keras ketimbang logat Solo-Jogja (kayak Bus Sumber Kencono wae ^^). Atau kita beralih ke jawa Timur, di sana bahasa jawanya amat keras dan tegas … eh, jangan salah bukannya mereka galak-galak, hanya saja kultur di sana berbahasa yang ceplas ceplos. Jika kita mengamati, kita pasti tahu bahwa secara bahasa saja sudah dari sono-nya beda.

Contoh yang lebih kecil deh. Saya dan suami dibesarkan dalam dua keluarga yang berbeda. Sejak kecil saya dididik dalam keluarga saya dengan cukup disiplin dan banyak peraturan. Contohnya makan tidak boleh berdiri, tidak boleh teriak-teriak, tidak boleh lari di dalam rumah, tidak boleh duduk mekangkang, tidak boleh kaki di atas meja, tidak boleh menampakkan kemesraan suami istri di luar kamar, seperti lihat tv sambil duduk bersandar berdua, atau cium kening saat mau pergi atau panggilang “sayang” itu haram dilakukan di luar kamar (jadi bolehnya di kamar saja). Sebaliknya, suami dididik dengan kebalikannya (mungkin karena tinggal di kota), jadi terbiasa dengan suara keras atau panggilan sayang di mana-mana. Perbedaan ini jelas membuat kami harus saling toleran. Saya yang awalnya cukup risih dipanggil sayang akhirnya terbiasa. Suami yang suaranya cukup besar jika di rumah saya belajar untuk memperkecil suara. Begitulah, toleran itu kuncinya.

Begitu pula ketika kita menghadapi yang namanya jejaring sosial aka pesbuk dan twitter. Di sana banyak orang, banyak latar belakang, banyak pemikiran, banyak ideologi, banyak kepentingan. Kita tidak bisa memaksa semua orang sama seperti kita, sama seperti idealnya diri kita. Kecuali jika memang kita menginginkan yang seragam, tentu kita bisa memilih teman-teman pesbuk yang seragam dengan kita. Itu hak kita.

Namun, jika kita berniat untuk dakwah, gak mungkin kan kita Cuma berteman dengan orang-orang yang sevisi dengan kita. Namanya bukan dakwah. Karena dakwah itu untuk orang-orang yang belum sevisi dengan kita, dan berbagai orang yang beda-beda tadi justru adalah objek dakwah yang potensial. Kita bisa berdakwah kepada mereka. Gratis, tanpa harus bikin buletin, tanpa harus bikinin pengajian akbar, bahkan tanpa harus bertatap muka. Itulah kelebihan jejaring sosial untuk dakwah kita.

Apalagi dakwah kedepan tidak cukup disokong oleh orang-orang yang sevisi dengan kita. Dakwah memajukan Indonesia harus disokong oleh banyak pihak, juga yang diluar dari komunitas kita. Untuk itulah mengapa kita harus mempunyai situs jejaring sosial sebagai media dakwah kita, mengingat kita belum bisa mempunyai media lain seperti TV atau koran. Itulah mengapa kita ditargetkan menyerbu pesbuk dan twitter, serta menjalin persahabatan dengan banyak orang. Siapa saja. Karena itu modal perjuangan kita.

Lalu apakah kita harus jadi orang populer di dumay? Jawaban saya: IYA! Sengaja saya tidak pake kata artis atau selebritis karena biasanya mengarah ke dunia entertainmen. Sedang maksud saya dengan orang populer itu adalah orang yang dikenal banyak orang. To the poin aja, dalam dunia dakwah, semakin orang dikenal, semakin banyak orang yang mengikutinya atau sekedar mendukungnya atau bahkan minimal tidak menyudutkan dakwahnya. Tentu untuk urusan ini dikenalnya dalam hal yang baik, tidak sekedar terkenal karena heri alias heboh sendiri (mohon maaf bila ada yang namanya heri, soale itu juga aku dikasih tahu dari temen og bukan karangan sendiri ^^).

Lalu bagaimana dengan urusan privasi dan urusan publik? Apakah baik urusan privasi/pribadi dimuat di ruang publik? Untuk itu mari kita lihat seksama. Apa itu urusan pribadi? Coba sebutkan! Mandi, tidur, sholat, sholat tahajud, sholat dhuha (biasanya ini yang banyak distatuskan hi hi ), sedekah, harta, rumah, motor, mobil, sakit, kematian, hobi, kerjaan, sekolah, bisnis, kucing atau piaraan, makan, sex, keintiman suami istri, apalagi ya … itu dulu deh. Nah sekarang apa itu urusan publik? Pajak, politik, korupsi, hukum, jalan raya, rumah sakit, presiden, menterinya, polisi, de el el.

Nah, sekarang mari introspeksi masing-masing diri, banyakan mana yang kita status di pesbuk dan twitter kita. Sedikit aja contohnya, silakan coret yang tidak sesuai dengan jawaban anda:
“Alhamdulillah, sesudah Dhuha lega rasanya … ayo sahabat ikut dhuha.” (pribadi/publik)
“ini rumahku lho *unggah foto rumahnya*” (Pribadi/publik)
“Dijual Hp merek BB palsu, sudah rusak semua, tinggal kartunya. Bermina? Hub xxxx” (pribadi/publik)
“Tolong doakan saya sedang sakit. Tolong doakan orang tua saya yang sedang sakit, dll” (pribadi/publik)
“Seharusnya Presiden SBY turun!” (Pribadi/publik)
“Ini kucingku yang lucu dan nggemesin, kalau aku gak lihat dia sehari aku gak bisa tidur *unggah foto si kucing lucu*” (pribadi/publik)
“Sayang, cintaku oh my love kutunggu di rumah. Udah kangen berat nih, maklum aku gendut hi hi.*status untuk suaminya*” (Pribadi/publik)
“Aku dan suami sedang tanam padi. Tapi sayangnya kita gak di sawah, kita lagi di pantai *unggah foto berduaan sambil pegangan tangan dan saling menatap*” (pribadi/publik)
“Aku dan suami di myeongdong. Hasil editan si Jolie *unggah poto editan di Korea. Hi hi hi ini aku banget*” (Pribadi/publik)
“ini hobiku yang sekarang jadi bisnis. Silakan dibeli. *Unggah foto suvenir. Trus ditag kemana-mana*” (pribadi/publik)

Ya, cukup segitu untuk perbandingan. Sebenarnya kita nih, paling banyak nyetatus apa sih? Pribadi atau publik? selain itu mari kita jujur, apakah setiap yang pribadi?privasi itu pasti salah jika dipublikkan?

Selanjutnya, untuk menyikapi fenomena hiruk pikuk dan gila-gilaannya teman-teman pesbuk kita *wah parah, si Penulis gak ngerasa gila-gilaan nih hi hi*, ada baiknya kita lihat dari latar belakang teman-teman kita itu sendiri. Lihat keluarganya, lihat daerahnya, lihat agamanya, lihat ideologinya. Jika kita melihat itu semua, maka kita akan menjadi orang yang lebih toleran melihat perbedaan. Jangan malah menjauhi atau mendelete mereka dari pertemanan, jangan pula hanya berkumpul dengan orang-orang yang sevisi dengan kita. Karena dakwah seharusnya lebih luas dan terbuka.

Sebagaimana sabda Rasulullah Muhammad SAW:
“Orang mukmin yang bergaul dengan masyarakat dan bersabar terhadap ulah buruk mereka, maka pahalanya lebih besar daripada mukmin yang tidak bergaul dengan masyarakat dan tidak bersabar atas ulah buruk mereka.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

Tapi, jika yang melakukan kehebohan itu adalah orang yang menurut kita seharusnya paham untuk tidak begitu. Kita bisa ingatkan secara pribadi, sekali, dua kali, tiga kali. Jika belum manjur juga tinggal doakan aja. Karena kita tidak punya hak atas hidayah dari Allah. Rasulullah aja tidak punya hak untuk menjadikan orang itu baik. Yang punya hak jelas hanya Allah. “Laa ikhroha fiddiin … tidak ada paksaan dalam agama.” Apalagi jika perbedaan itu bukanlah perbedaan yang sifatnya tsawabit dan muhkamat (pokok dan sudah jelas dalilnya). Jika perbedaan itu perihal yang mutaghayyirat (banyak variabel/bisa berubah-ubah) sesuai kondisi daerah, situasi terkini, dsb, maka janganlah hal itu membuat perpecahan dalam tubuh umat ini, atau dalam persaudaraan kita. Berlapangdada lah, karena itu akan membuat hatimu lebih tenang dan tentram. Ayo, siapa mau terus menerus mendapatkan pahala? Akuuuu!!!

Sedikit ini yang sya tulis, sebenarnya masih banyak yang ingin saya kemukakan berbagai sudut pandangnya selain hal-hal yang di atas, tapi apa daya tempatnya gak muat. Plus kasihan yang baca juga mumet.

Oke itu dulu, monggo kawan-kawanku, silakan kasih opininya ya. Kita sharing ilmu agar lebih barokah hidup kita.