Asri AyuSyar'i

Minggu, 08 Februari 2015

Muslimah, Kudu Mandiri Finansial!




Seorang muslimah sebaiknya mandiri secara finansial. Mengapa? Karena dengan kemandirian finansial, seorang muslimah menjadi sosok yang bebas, mempunyai citra diri yang baik, kepercayaan diri yang tinggi serta mampu beribadah dengan baik.
Apa maksudnya menjadi sosok yang bebas? Apakah itu berarti dia bebas melakukan segalanya atau bisa mengatur suaminya (jika sudah bersuami)? Ho ho tentu bukan ini maksudnya. Menjadi sosok yang bebas maksudnya adalah, muslimah yang mandiri secara finansial akan “bebas untuk menjadi dirinya sendiri”. Masih bingung nih, maksudnya apa, sih? Maksudnya adalah bisa hidup sebagai dirinya sendiri, bukan sebagai perempuan yang berada dalam tekanan orang lain. Penulis kerap menjumpai wanita yang berada dalam tekanan demi tekanan atau istilahnya “terkungkung” oleh orang atau keadaan.
Ini beberapa contoh kasus wanita “terkungkung” (kisah nyata):
Kisah 1
Namanya Ria, dia seorang muslimah. Dia berniat untuk menikah dengan seorang muslim yang baik. Orang tua Ria setuju, namun mereka ingin menggelar pesta walimah dengan adat Jawa kental (pake siraman, injek telor, dandan menor, gendong2an, dll). Ria tentu saja menolak. Ria ingin tidak usah pake walimahan saja daripada harus pake adat Jawa. Tapi, orang tua Ria tegas menolak. Bahkan mengancam untuk tidak akan merestui pernikahan jika tidak “manut” dengan cara orang tuanya. Apalagi orangtuanya bilang, “Yang nyari duit untuk nikahmu itu kami. Kamu gak punya modal. Jadi jangan macam-macam dan tinggal beres saja!.” Wuiiiih, ngeri dah! Terpaksa nih Ria akhirnya melangsungkan walimahan dengan adat Jawa kental diiringi rasa malu kepada para sahabat dan adik-adik mentornya.

Kisah 2
Siti bingung saat teman-teman pengajiannya meng-sms. “Koq beberapa kali nggak datang, ukh?”
“Anti sakit, ya?”
“Ada yang bisa dibantu?”
Siti bingung mau menjawab apa. Dia sebenarnya ingin sekali datang “pengajian rutin”, tapi apa daya. Dia tidak punya ongkos, padahal untuk sampai ke tempat pengajian dia harus menggunakan bus. Sebenarnya dia ingin mbonceng temannya, tapi teman-temannya sudah punya partner boncengan masing-masing. Mau bilang, tapi Siti malu. Akhirnya dia memilih mengurung diri di kosnya.
Begitulah, saat uang kiriman orangtuanya—yang cuma segelintir itu—habis, dia ‘terpaksa’ tidak bisa menghadiri pengajian atau kegiatan-kegiatan dakwah lainnya (yang biasanya memerlukan biaya). Ehmmm, rupanya Siti “terkungkung” ekonomi.

Kisah 3
Fitri adalah seorang ibu dengan tiga anak. Suaminya kerja serabutan (tapi lebih sering tidak bekerja). Jangankan untuk berinfak, untuk makan dan biaya hidup lainnya sungguh sulit bagi keluarga itu. Sejak dulu Fitri tidak terbiasa mencari penghasilan, dia selalu menggantungkan kepada orangtuanya. Dia tidak menyangka, ketika menikah justru kesulitan ekonomi yang didapatkannya. Apalagi suaminya ternyata malas-malasan bekerja. Akibatnya, Fitri bingung sendiri. Mau kerja, bingung karena tiga anaknya tidak bisa ditinggal, dan suaminya melarang kerja di luar rumah.
Seorang temannya memberinya saran untuk bisnis dari rumah, entah online atau yang lain. Tapi, Fitri juga tidak bisa. Alasannya… ENTAHLAH. Akhirnya Fitri menghutang sana sini. Profesinya sekarang adalah PENGHUTANG. Dan itu cukup meresahkan kawan-kawannya. Bukan karena tidak mau dihutangi, tapi… hey!! Ini bukan kebiasaan baik, kan?!

Kisah 4
Seorang ibu pernah bertanya dalam sebuah pengajian ibu-ibu. “Bagaimana jika suami kita orangnya kasar, suka memukul, tidak mau shalat, tidak mau puasa dan sering melarang kita ikut pengajian. Apa yang harus kita lakukan?”
Saat Ustadzah pengisi menjawab, “Nasehatilah suami anda dengan cara yang baik.” Ibu tadi justru menjawab bahwa ia sudah berbicara dengan baik kepada suaminya tapi tidak mempan. Usut punya usut, rupanya sang suami sejak awal sudah tidak respek kepada sang istri, bahkan sering mengatakan “Yang cari uang itu saya (suami), gak usah cerewet!”. Olala… akhirnya istri itu terpaksa menahan sakit hati terus menerus.
Masih banyak kisah-kisah tentang muslimah yang “terkungkung” lainnya. Keterkungkungan seorang muslimah bukan hanya dikarenakan latar belakang ekonomi, bisa juga karena latar belakang pendidikan, keterampilan, dsb.
Seorang muslimah yang mandiri secara finansial, juga akan mempunyai citra diri yang baik. Apa itu citra diri? Citra diri adalah apa yang anda percayai tentang diri anda sendiri. Bisa juga disebut sebagai persepsi diri.  Citra diri yang baik adalah ketika kita percaya bahwa kita ini kuat, baik, sabar, sama derajatnya dengan orang lain, tidak minder, merasa cantik (bukan narsis lho ya ^^), dan segala macam persepsi positif lainnya.
Sedangkan citra diri yang buruk adalah ketika kita percaya bahwa kita lemah orang lain kuat, kita budak orang lain majikan, terjajah, orang lain lebih tinggi dari kita, minder, rendah diri, penakut, jelek, gendut ginuk-ginuk (halah opo toh iki ^^v), dan segala hal negatif lainnya.
Banyak penelitian yang menyimpulkan, bahwa wanita yang mandiri secara finansial maka citra dirinya baik dan meningkat—ketimbang yang “terkungkung” dalam masalah finansial.
Selain alasan di atas, alasan yang paling mendasar mengapa muslimah kudu mandiri secara finansial? Jawabannya adalah karena dengan kemandirian finansial itu banyak ibadah yang bisa dilakukan. Sedekah, melaksanakan haji, memberi nafkah anak yatim, memberi buka puasa, membebaskan Palestina, hingga berjihad.
Sedekah memang bisa dengan apa saja, bahkan senyum saja sedekah bukan? Tapi, apa iya kita mengharapkan surga dengan amalan senyuman saja?
Bukankah Allah berfirman:
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antara kamu, dan belum nyata orang-orang yang bersabar.” (QS Ali Imran: 42)
Yang kemudian dijelaskan lebih rinci apa saja bentuk jihad itu dalam ayat yang lain:
“(Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui.” (QS As-Shaff: 11)
Lihat! Nyata bukan?! Bahwa Allah yang meminta diri kita untuk berjihad dengan harta juga. Kita di sini bukan hanya untuk muslim (laki-laki) saja, tapi juga untuk perempuan. Karena perempuan itu sosok “bebas”, masuk surga atau neraka tidak ditentukan laki-laki (ayah atau suaminya) melainkan dengan amalnya sendiri.
Simak, deh!
Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang jujur, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah (berdzikir), Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al-Ahzab: 35)
Jika seorang muslimah mandiri secara finansial, hal itu juga bisa membantu ekonomi keluarga. Dan itu  pun termasuk ibadah (sedekah). Apalagi jika keuangan suami tidak mencukupi untuk hidup sehari-hari (makan, sekolah, baju, dsb).
Allahu Akbar!
Mari kita tengok sosok Bunda Khadijah r.a. Beliau adalah seorang wanita pebisnis. Harta kekayaannya melimpah. Namun, beliau memang wanita kaya yang mulia. Kekayaannya digunakan untuk menyokong dakwah Rasulullah Muhammad SAW. Hingga Rasulullah SAW sendiri begitu cintanya kepada sang istri. Bahkan perempuan agung ini mendapatkan titipan salam dari Allah melalui malaikat Jibril.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
Jibril datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan berkata: “Sampaikan kepada Khadijah salam dari Allah dan dariku, dan berilah ia berita gembira dengan sebuah rumah di surga yang terbuat dari emas permata. Di dalamnya tidak ada kegaduhan dan tiada pula keletihan.” [HR. Bukhari dan Muslim]
Tak hanya Ibunda Khadijah yang mandiri secara finansial. Mari kita tengok Ibunda Zainab binti Jahsy yang rajin berkarya dengan tangannya sendiri. Beliau pintar membuat anyaman dan menyamak kulit untuk dijual, selanjutnya uang hasil penjualan disedekahkan untuk fakir miskin.
Aisyah r.a. berkata, “... ternyata yang terpanjang tangannya di antara kami adalah Zainab sebab dia sudah biasa berusaha dengan tangannya sendiri dan bersedekah.” (HR Muslim)
Dalam hadits lain diceritakan.
Jabir mengatakan bahwa Nabi saw. datang menemui istri beliau, Zainab yang kebetulan waktu itu sedang menyamak kulit ...” (HR Muslim).
Al Hafizh ibnu Hajar menyebutkan dalam Kitab Al-Fath bahwa al-Hakim meriwayatkan dalam kitab Al-Mustadrak—dia berkata menurut syarath Muslim—bahwa Zainab binti Jahsy adalah seorang wanita perajin. Dia ahli menyamak dan menjahit kulit dan dengan hasil usahanya itu dia bersedekah pada jalan Allah.”
Subhanallah, ya!
Ada lagi nih tokoh Zainab di zaman Nabi saw. yang terkenal karena bekerja untuk menafkahi suami dan anak yatim. Beliau adalah Zainab istri dari shahabat Abdullah Ibnu Mas’ud.
Zainab, istri Abdullah Ibnu Mas’ud, berkata: “Pada waktu aku berada di masjid, lalu aku melihat Nabi saw. Beliau bersabda, ‘Bersedekahlah kalian (hai kaum wanita) meskipun dengan perhiasan kalian!’ Sedangkan Zainab sendirilah yang memberi nafkah (suaminya) Abdullah dan anak-anak yatim yang dia pelihara. Zainab berkata, “Lalu aku pergi menemui Nabi saw. Aku temukan seorang wanita Anshar berada di dekat pintu rumah Nabi saw. dan keperluannya sama dengan keperluanku. Lalu lewat Bilal dekat kami, dan kami bertanya kepadanya: ‘(Hai Bilal) tanyakanlah kepada Nabi saw., apakah sah apabila aku memberikan nafkah kepada suami dan anak-anak yatim yang aku pelihara?” Bilal pun masuk dan menyampaikan pertanyaan aku itu kepada Nabi saw. Beliau menjawab, ‘Ya, sah, dan baginya dua pahala: pahala kerabat dan pahala bersedekah.’” (HR Bukhari dan Muslim) (Kebebasan Wanita, Jilid 1, Abdul Halim Abu Syuqqoh)
Nah kan, ternyata Islam tidak melarang muslimah untuk bekerja mencari nafkah. Malahan muslimah yang bekerja dan hasilnya digunakan untuk nafkah keluarga dan sedekah itu luar biasa pahalanya. Tapi bekerja di sini tidak berarti harus bekerja kantoran, boleh kok bisnis sendiri atau bisnis dari rumah. Kelebihan bisnis sendiri atau bisnis dari rumah adalah mempunyai waktu yang fleksibel, tidak terikat jam kantor yang padat. Selain itu kita juga punya waktu cukup untuk menyelesaikan pekerjaan rumah dan mengasuh anak-anak kita.
Lalu, bagaimana jika muslimah bekerja di luar rumah? Ehm, tampaknya bukan masalah “bekerja atau tidak” yang menjadi masalah, karena sudah jelas itu dibolehkan. Sebagaimana beberapa hadits di atas. Yang menjadi kontroversi mungkin adalah ‘di luar rumah’. Boleh tidak, ya? Untuk menjawab hal itu, kita semestinya tidak langsung menghakimi “tidak” atau “boleh” tapi harus dilihat dari banyak faktor. Salah satunya adalah faktor uzur syar’i yang membuatnya harus keluar rumah. Jika ada uzur syar’i yang membuatnya harus keluar rumah, maka wanita dibolehkan keluar rumah. Misalnya harus hijrah, ikut beribadah, ikut berperang, ikut berdakwah, mengobati orang, mendidik, mengingatkan penguasa yang zalim dan sebagainya.
Banyak sekali kisah sahabiyah Nabi saw. yang keluar rumah untuk melaksanakan tugasnya. Ayo, kita simak beberapa kisah di bawah ini! Cekidot!
Jabir bin Abdullah berkata, “Bibiku dicerai dan dia bermaksud hendak mengambil buah kurma (bertani) pada masa ‘iddahnya. Namun, ada seorang laki-laki menghardiknya agar jangan keluar dari rumah. Lalu bibiku pergi menemui Rasulullah saw. (untuk menanyakan masalah itu). Nabi saw. berkata, “Tidak apa-apa, potonglah buah kurmamu. Barangkali dengan begitu kamu bisa bersedekah atau melakukan sesuatu kebajikan.”” (HR Muslim)
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “... dan Rasulullah saw. menempatkan Sa’ad di tenda Rufaidah di samping masjid beliau. Rufaidah adalah seorang wanita yang sudah biasa merawat orang-orang yang terluka. Lalu nabi saw. berkata, ‘Tempatkanlah Sa’ad di tenda Rufaidah agar aku dekat menjenguknya.’” (Fathul Bari, Jilid 8, hal. 415)
Ruba’i binti Mu’awwidz berkata, “Kami pernah ikut berperang bersama Rasulullah saw. Kami bertugas memberi minum pasukan dan melayani mereka serta memulangkan orang-orang yang terbunuh dan terluka ke Madinah.” (HR Bukhari)
Ummu Athiyyah al-Anshariyah berkata, “Aku ikut berperang bersama Rasulullah sebanyak tujuh kali peperangan. Aku selalu ditempatkan di bagian belakang pasukan. Akulah yang membuatkan makanan untuk mereka, mengobati yang luka-luka, dan membantu yang sakit.” (HR Muslim).
Masih banyak hadits yang mengisahkan bagaimana para shahabiyah Rasulullah saw. ikut keluar rumah untuk beragam aktivitas positif. Jadi, jangan takut jika kita memang harus bekerja di luar rumah. Namun, ada beberapa hal yang harus muslimah perhatikan apabila ingin bekerja di luar rumah.
  1. Bekerja dalam bidang yang positif dan minim fitnah. Jangan bekerja di tempat yang banyak fitnah. Misalnya bekerja di tempat yang mengharuskan laki-laki perempuan campur baur. s
  2. Tetap menutup aurat dengan sempurna. Jangan lupa itu, ya!
  3. Menjaga adab berbicara dan berinteraksi dengan laki-laki non mahram. Sopan, tidak urakan, jaga kehormatan.
  4. Menyeimbangkan waktu bekerja di luar rumah dengan tugas di dalam rumah. Jangan timpang! Usahakan tidak bekerja di luar rumah pada saat malam hari kecuali ditemani mahram.
  5. Mendapatkan ijin dari suami atau wali. Suami adalah wali kita saat sudah menikah, maka kita perlu mendapatkan ridho dari mereka ketika hendak keluar rumah. Itulah adab dalam Islam.
Nah, bagaimana Sahabat Muslimah? Sudah terang benderang, kan? Kini tidak ada alasan muslimah memble dalam finansial. Tak inginkah kita seperti Bunda Khadijah, Zainab binti Jahsy dan muslimah lain yang memberikan banyak manfaat bagi umat dari kekayaan yang mereka hasilkan sendiri. Ayo, muslimah kudu mandiri finansial!

#Dicuplik dari buku saya yang berjudul "Kamu Cantik dari Hatimu"
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar