Asri AyuSyar'i

Minggu, 08 Februari 2015

Kepedulian, Nilai Luhur Bangsa Menuju Kesejahteraan



Indonesia Negara Individualistik (?)
Dewasa ini publik Indonesia banyak digoyang berbagai fenomena, mulai dari goyang Briptu Norman, Bripda Saeful Bachri hingga berbagai konser musik kelas dunia yang menggoyang Indonesia. Sebut saja konser Justin Bieber, 2PM, Roxette, Katy Perry, Steavy Wonder, hingga konser Lady Gaga yang rencananya akan segera menghentak penggemarnya di negeri ini. Dan seiring dengan berbagai fenomena tersebut, khalayak seakan turut serta dalam perputarannya, baik dengan bergunung pujian, dukungan hingga aksi rela merogoh jutaan rupiah demi mendukung dan melihat sang idola. Belum lagi fenomena antrian ratusan bahkan ribuan OKB (Orang Kaya Baru) yang rela berdesak-desakan hanya untuk memuaskan keinginannya memiliki gadget terbaru.
Di sisi lain, ada sebuah fenomena yang justru membuat miris. Mari kita perhatikan, kini di sepanjang jalan raya, setiap kita melangkah sejauh 10-15 meter hampir dipastikan terdapat minimal 1 peminta-minta/gelandangan/pengamen/orang gila. Atau ketika kita melewati TPA (tempat pembuangan akhir) maka akan kita dapati pemandangan banyaknya manusia yang mengerumuni sampah dan mengorek-orek mencari barang yang masih layak dijual. Melihat hal itu kebanyakan masyarakat kita cuek dan tidak peduli. Apa artinya ini?
Jika kita jeli mengamati, dua fenomena yang kontradiktif tersebut mencerminkan keadaan bangsa yang amat memprihatinkan. Bisa dibilang bangsa ini mulai jatuh ke arah negara individualistik. Apa itu negara individualistik? Dalam pidato Prof. Mr.Dr.R. Soepomo pada saat rapat Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPPKI), beliau menjelaskan bahwa dasar sebuah negara itu terbagi menjadi tiga, yaitu Negara Individualistik (Teori Individualistik), Negara Kelas (Teori Kelas) dan Negara Integralistik (Teori Integralistik/Persatuan).
Yang dimaksud dengan Negara Individualistik mengajarkan bahwa negara adalah masyarakat hukum (legal society) yang disusun atas kontrak antara seluruh perorangan dalam masyarakat itu (contract social). Teori Individualistik ini menginginkan setiap orang dalam suatu negara bebas mempunyai kehendak serta mementingkan kehendak (hak) perseorangan di samping kepentingan masyarakat atau negara. Teori yang dipelopori oleh Thomas Hobbes (1688-1779) dan Herbert Spencer (1820-1903) ini diterapkan di negara-negara Eropa Barat dan Amerika.
Di negara-negara Eropa Barat dan Amerika, teori ini menghasilkan sikap yang sangat menjaga hak perseorangan bahkan bisa dikatakan bebas mengambil hak perseorangan tanpa peduli dengan hak orang lain. Negara pun diharuskan memberikan jalan yang seluas-luasnya untuk pemenuhan hak itu. Liberalisme, itu intinya.
Di Indonesia sendiri akar-akar individualistik nampaknya semakin kentara menyusul tercerabutnya akar-akar kepedulian, kebersamaan dan persatuan. Hal ini terlihat dengan semakin apatisnya masyarakat Indonesia dengan kondisi orang lain. Miskinkah, bodohkah, sehatkah, rupanya tak lagi menjadi kepedulian bagi bangsa ini. “Ngapain mikirin perut orang lain, mikirin perut sendiri saja susah!” begitu pendapat sebagian besar masyarakat kita. Maka sangatlah wajar jika sebagian kita lebih senang membuang uang jutaan rupiah demi Justin Bieber, Katy Perry dan Lady Gaga, ketimbang sekedar memberikan 50 ribu untuk santunan anak yatim.
Tengoklah Negara-negara Maju Itu!
Seharusnya bangsa ini mulai menengok kondisi negara-negara Eropa dan Amerika yang dibangga-banggakan karena kebebasan HAM-nya. Dalam sebuah penelitian (Pen, The Eighth United Nations Survey on Crime Trends and the Operations of Criminal Justice Systems) yang dilakukan oleh United Nations Office on Drugs and Crime, Centre for International Crime Prevention pada tahun 2002, menempatkan Amerika sebagai negara paling tinggi kriminalitasnya, menyusul di bawahnya Inggris dan Jerman.
Sementara itu pada tahun 2009, Kementerian Kehakiman AS menyebutkan bahwa kejahatan di Amerika mencapai 4.300.000 kasus lebih terkait pemerkosaan, perampokan dan penganiayaan. Serta 16 ribu kasus pembunuhan yang dilaporkan secara resmi ke kepolisian (www.IslamTimes.com).
Kriminalitas salah satunya disebabkan oleh rendahnya tingkat ekonomi suatu masyarakat. Hal ini dikuatkan dengan pernyataan Jeanne Manik, Dosen Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial UBB (Universitas Bangka Belitung). “Tingkat kebutuhan ekonomi dan tingginya harga barang membuat orang melakukan kejahatan dengan mencuri. Penghasilan yang mereka dapatkan tidak mencukupi kebutuhan keluarganya.”
Sebenarnya permasalahan ekonomi memang bukan satu-satunya pemicu kriminalitas. Seperti contoh kriminalitas di Negara Amerika di atas, justru permasalahan kesenjangan sosial yang tinggi ditambah hilangnya kepedulian terhadap sesama lebih menjadi faktor yang tidak terbantahkan. Maka bukan hal yang mengejutkan jika di hampir seluruh negara, tak terkecuali Indonesia, berbagai ragam kasus kriminalitas menjadi kisah keseharian masyarakatnya.
Belajar Peduli dari Muhammad Natsir
Indonesia sendiri sebenarnya dikenal sebagai bangsa besar yang memiliki nilai-nilai yang sangat luhur. Sejak dulu kita mengenal konsep gotong-royong, konsep kekeluargaan dan konsep musyawarah, di mana konsep-konsep tersebut menggambarkan tentang jiwa bangsa Indonesia yang mencintai persatuan dan peduli terhadap sesama. Padahal, pada masa lalu tingkat ekonomi bangsa Indonesia tidak jauh beda dengan masa sekarang. Akan tetapi nilai-nilai luhur itulah yang menjadikan situasi bangsa dulu dan kini menjadi sangat berbeda.
Adalah Muhammad Natsir, seorang negarawan muslim yang sangat peduli terhadap nasib bangsanya. Beliau mencurahkan segenap tenaga dan pemikirannya untuk mengangkat harkat dan derajat bangsanya. Tak hanya dalam masalah politik, beliau juga mengajarkan kita semangat saling bahu membahu meringankan sesama dalam usaha mencapai kesejahteraan bersama.
Sebuah kisah tentang hal itu nyata ditorehkan pada masa peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru. Muhammad Natsir yang telah bebas dari penjara Orde Lama kembali ke Sumatera Barat, kampung halamannya. Di sana, negarawan tersebut langsung dihadapkan dengan berbagai kisah memilukan akibat serangan pemerintah Orde Lama terkait isu pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia). Mulai dari pengangguran yang banyak, para pemuda yang putus sekolah, sumber ekonomi masyarakat yang tidak memadai, hingga ratusan rumah masyarakat yang terbakar.
Muhammad Natsir tidak tampil hanya dengan unjuk gigi—bahasa sekarang, asal komentar—tapi beliau langsung terlibat dalam memberi solusi untuk masyarakat Minangkabau saat itu. Maka digulirkanlah konsep mawaddah fil qurba (kasih sayang untuk orang terdekat), yaitu dengan menghimpun kain, pakaian dan uang dari para pemimpin perjuangan maupun orang Minang pada umumnya, yang ada di Sumatera Barat dan yang tersebar di seluruh Indonesia.
Hasilnya, luar biasa. Tak memerlukan waktu lama bagi Nagari Minangkabau untuk berbenah diri.  Bahkan pada saat Irian Jaya baru masuk menjadi bagian dari NKRI, orang-orang Minang sudah sukses dan menyebar seantero Nusantara dengan restoran Padang-nya.
Untuk itulah sudah saatnya bangsa ini kembali kepada jiwa bangsa ini—kembali kepada nilai-nilai luhur bangsa ini. Mulailah membuka mata, pendengaran dan hati kita agar lebih peka dan peduli terhadap sesama. Dari kepekaan dan kepedulian itulah persatuan dan kesejahteraan bangsa bisa diwujudkan.
Sumber:
1.      Kumpulan Taushiyah Dr. Mohammad Natsir “Hidupkan Dakwah Bangun Negeri”
2.      Pidato Prof. Mr.Dr.R. Soepomo dalam rapat Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPPKI) pada tanggal 31 Mei 1945.
3.      Bangka Pos.com
4.      www.IslamTimes.com 

*Pernah dimuat di majalah NH. Sekarang bernama Majalah GIVE Nurul Huda Islamic Center. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar