Indonesia Negara Individualistik (?)
Dewasa ini publik Indonesia banyak digoyang berbagai
fenomena, mulai dari goyang Briptu Norman, Bripda Saeful Bachri hingga berbagai
konser musik kelas dunia yang menggoyang Indonesia. Sebut saja konser Justin
Bieber, 2PM, Roxette, Katy Perry, Steavy Wonder, hingga konser Lady Gaga yang
rencananya akan segera menghentak penggemarnya di negeri ini. Dan seiring
dengan berbagai fenomena tersebut, khalayak seakan turut serta dalam
perputarannya, baik dengan bergunung pujian, dukungan hingga aksi rela merogoh
jutaan rupiah demi mendukung dan melihat sang idola. Belum lagi fenomena
antrian ratusan bahkan ribuan OKB (Orang Kaya Baru) yang rela berdesak-desakan
hanya untuk memuaskan keinginannya memiliki gadget terbaru.
Di sisi lain, ada sebuah fenomena yang justru membuat
miris. Mari kita perhatikan, kini di sepanjang jalan raya, setiap kita
melangkah sejauh 10-15 meter hampir dipastikan terdapat minimal 1
peminta-minta/gelandangan/pengamen/orang gila. Atau ketika kita melewati TPA
(tempat pembuangan akhir) maka akan kita dapati pemandangan banyaknya manusia
yang mengerumuni sampah dan mengorek-orek mencari barang yang masih layak
dijual. Melihat hal itu kebanyakan masyarakat kita cuek dan tidak peduli. Apa
artinya ini?
Jika kita jeli mengamati, dua fenomena yang kontradiktif
tersebut mencerminkan keadaan bangsa yang amat memprihatinkan. Bisa dibilang
bangsa ini mulai jatuh ke arah negara individualistik. Apa itu negara individualistik?
Dalam pidato Prof. Mr.Dr.R. Soepomo pada saat rapat Badan Penyelidik Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPPKI), beliau menjelaskan bahwa dasar sebuah negara itu
terbagi menjadi tiga, yaitu Negara Individualistik (Teori Individualistik),
Negara Kelas (Teori Kelas) dan Negara Integralistik (Teori
Integralistik/Persatuan).
Yang dimaksud dengan Negara Individualistik mengajarkan
bahwa negara adalah masyarakat hukum (legal society) yang disusun atas
kontrak antara seluruh perorangan dalam masyarakat itu (contract social).
Teori Individualistik ini menginginkan setiap orang dalam suatu negara bebas
mempunyai kehendak serta mementingkan kehendak (hak) perseorangan di samping
kepentingan masyarakat atau negara. Teori yang dipelopori oleh Thomas Hobbes
(1688-1779) dan Herbert Spencer (1820-1903) ini diterapkan di negara-negara
Eropa Barat dan Amerika.
Di negara-negara Eropa Barat dan Amerika, teori ini
menghasilkan sikap yang sangat menjaga hak perseorangan bahkan bisa dikatakan
bebas mengambil hak perseorangan tanpa peduli dengan hak orang lain. Negara pun
diharuskan memberikan jalan yang seluas-luasnya untuk pemenuhan hak itu.
Liberalisme, itu intinya.
Di Indonesia sendiri akar-akar individualistik nampaknya
semakin kentara menyusul tercerabutnya akar-akar kepedulian, kebersamaan dan
persatuan. Hal ini terlihat dengan semakin apatisnya masyarakat Indonesia
dengan kondisi orang lain. Miskinkah, bodohkah, sehatkah, rupanya tak lagi
menjadi kepedulian bagi bangsa ini. “Ngapain
mikirin perut orang lain, mikirin perut sendiri saja susah!” begitu
pendapat sebagian besar masyarakat kita. Maka sangatlah wajar jika sebagian
kita lebih senang membuang uang jutaan rupiah demi Justin Bieber, Katy Perry
dan Lady Gaga, ketimbang sekedar memberikan 50 ribu untuk santunan anak yatim.
Tengoklah Negara-negara Maju Itu!
Seharusnya bangsa ini mulai menengok kondisi negara-negara
Eropa dan Amerika yang dibangga-banggakan karena kebebasan HAM-nya. Dalam
sebuah penelitian (Pen, The Eighth United
Nations Survey on Crime Trends and the Operations of Criminal Justice Systems)
yang dilakukan oleh United Nations Office on Drugs and Crime, Centre for
International Crime Prevention pada tahun 2002, menempatkan Amerika sebagai negara
paling tinggi kriminalitasnya, menyusul di bawahnya Inggris dan Jerman.
Sementara itu pada tahun 2009, Kementerian Kehakiman AS
menyebutkan bahwa kejahatan di Amerika mencapai 4.300.000 kasus lebih terkait
pemerkosaan, perampokan dan penganiayaan. Serta 16 ribu kasus pembunuhan yang
dilaporkan secara resmi ke kepolisian (www.IslamTimes.com).
Kriminalitas salah satunya disebabkan oleh rendahnya
tingkat ekonomi suatu masyarakat. Hal ini dikuatkan dengan pernyataan Jeanne
Manik, Dosen Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial UBB (Universitas
Bangka Belitung). “Tingkat kebutuhan ekonomi dan tingginya harga barang membuat
orang melakukan kejahatan dengan mencuri. Penghasilan yang mereka dapatkan
tidak mencukupi kebutuhan keluarganya.”
Sebenarnya permasalahan ekonomi memang bukan
satu-satunya pemicu kriminalitas. Seperti contoh kriminalitas di Negara Amerika
di atas, justru permasalahan kesenjangan sosial yang tinggi ditambah hilangnya
kepedulian terhadap sesama lebih menjadi faktor yang tidak terbantahkan. Maka
bukan hal yang mengejutkan jika di hampir seluruh negara, tak terkecuali
Indonesia, berbagai ragam kasus kriminalitas menjadi kisah keseharian masyarakatnya.
Belajar Peduli dari Muhammad Natsir
Indonesia sendiri sebenarnya dikenal sebagai bangsa
besar yang memiliki nilai-nilai yang sangat luhur. Sejak dulu kita mengenal
konsep gotong-royong, konsep kekeluargaan dan konsep musyawarah, di mana
konsep-konsep tersebut menggambarkan tentang jiwa bangsa Indonesia yang
mencintai persatuan dan peduli terhadap sesama. Padahal, pada masa lalu tingkat
ekonomi bangsa Indonesia tidak jauh beda dengan masa sekarang. Akan tetapi
nilai-nilai luhur itulah yang menjadikan situasi bangsa dulu dan kini menjadi
sangat berbeda.
Adalah Muhammad Natsir, seorang negarawan muslim yang
sangat peduli terhadap nasib bangsanya. Beliau mencurahkan segenap tenaga dan
pemikirannya untuk mengangkat harkat dan derajat bangsanya. Tak hanya dalam
masalah politik, beliau juga mengajarkan kita semangat saling bahu membahu
meringankan sesama dalam usaha mencapai kesejahteraan bersama.
Sebuah kisah tentang hal itu nyata ditorehkan pada masa
peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru. Muhammad Natsir yang telah bebas dari
penjara Orde Lama kembali ke Sumatera Barat, kampung halamannya. Di sana,
negarawan tersebut langsung dihadapkan dengan berbagai kisah memilukan akibat
serangan pemerintah Orde Lama terkait isu pemberontakan PRRI (Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia). Mulai dari pengangguran yang banyak, para
pemuda yang putus sekolah, sumber ekonomi masyarakat yang tidak memadai, hingga
ratusan rumah masyarakat yang terbakar.
Muhammad Natsir tidak tampil hanya dengan unjuk
gigi—bahasa sekarang, asal komentar—tapi beliau langsung terlibat dalam memberi
solusi untuk masyarakat Minangkabau saat itu. Maka digulirkanlah konsep mawaddah fil qurba (kasih sayang untuk
orang terdekat), yaitu dengan menghimpun kain, pakaian dan uang dari para
pemimpin perjuangan maupun orang Minang pada umumnya, yang ada di Sumatera
Barat dan yang tersebar di seluruh Indonesia.
Hasilnya, luar biasa. Tak memerlukan waktu lama bagi
Nagari Minangkabau untuk berbenah diri.
Bahkan pada saat Irian Jaya baru masuk menjadi bagian dari NKRI, orang-orang
Minang sudah sukses dan menyebar seantero Nusantara dengan restoran Padang-nya.
Untuk itulah sudah saatnya bangsa ini kembali kepada
jiwa bangsa ini—kembali kepada nilai-nilai luhur bangsa ini. Mulailah membuka
mata, pendengaran dan hati kita agar lebih peka dan peduli terhadap sesama.
Dari kepekaan dan kepedulian itulah persatuan dan kesejahteraan bangsa bisa
diwujudkan.
Sumber:
1.
Kumpulan Taushiyah Dr. Mohammad
Natsir “Hidupkan Dakwah Bangun Negeri”
2.
Pidato Prof. Mr.Dr.R. Soepomo
dalam rapat Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPPKI) pada
tanggal 31 Mei 1945.
3.
Bangka Pos.com
*Pernah dimuat di majalah NH. Sekarang bernama Majalah GIVE Nurul Huda Islamic Center.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar