Seorang muslimah
sebaiknya mandiri secara finansial. Mengapa? Karena dengan kemandirian
finansial, seorang muslimah menjadi sosok yang bebas, mempunyai citra diri yang
baik, kepercayaan diri yang tinggi serta mampu beribadah dengan baik.
Apa maksudnya
menjadi sosok yang bebas? Apakah itu berarti dia bebas melakukan segalanya atau
bisa mengatur suaminya (jika sudah bersuami)? Ho ho tentu bukan ini maksudnya.
Menjadi sosok yang bebas maksudnya adalah, muslimah yang mandiri secara
finansial akan “bebas untuk menjadi dirinya sendiri”. Masih bingung nih,
maksudnya apa,
sih? Maksudnya adalah bisa hidup sebagai dirinya sendiri, bukan sebagai
perempuan yang berada dalam tekanan orang lain. Penulis kerap menjumpai wanita yang berada
dalam tekanan demi tekanan atau istilahnya “terkungkung” oleh orang atau
keadaan.
Ini beberapa
contoh kasus wanita “terkungkung” (kisah nyata):
Kisah 1
Namanya Ria, dia
seorang muslimah. Dia berniat untuk menikah dengan seorang muslim yang baik.
Orang tua Ria setuju, namun mereka ingin menggelar pesta walimah dengan adat Jawa kental (pake
siraman, injek telor, dandan menor, gendong2an, dll). Ria tentu saja menolak. Ria
ingin tidak usah pake walimahan saja daripada harus pake adat Jawa. Tapi, orang tua Ria tegas
menolak. Bahkan mengancam untuk tidak akan merestui pernikahan jika tidak
“manut” dengan cara orang tuanya. Apalagi orangtuanya bilang, “Yang nyari duit untuk
nikahmu itu kami. Kamu gak punya modal.
Jadi jangan macam-macam dan tinggal beres saja!.”
Wuiiiih, ngeri dah! Terpaksa nih Ria akhirnya melangsungkan walimahan dengan
adat Jawa kental diiringi
rasa malu kepada para sahabat dan adik-adik mentornya.
Kisah 2
Siti bingung
saat teman-teman pengajiannya meng-sms. “Koq beberapa kali nggak datang, ukh?”
“Anti sakit,
ya?”
“Ada yang bisa
dibantu?”
Siti bingung mau
menjawab apa. Dia sebenarnya ingin sekali datang “pengajian rutin”, tapi apa
daya. Dia tidak punya ongkos, padahal untuk sampai ke tempat pengajian dia
harus menggunakan bus. Sebenarnya dia ingin mbonceng temannya, tapi teman-temannya
sudah punya partner boncengan
masing-masing. Mau bilang, tapi Siti malu. Akhirnya dia memilih mengurung diri
di kosnya.
Begitulah, saat
uang kiriman orangtuanya—yang cuma
segelintir itu—habis, dia ‘terpaksa’ tidak bisa menghadiri pengajian atau kegiatan-kegiatan
dakwah lainnya (yang biasanya memerlukan
biaya). Ehmmm, rupanya Siti “terkungkung”
ekonomi.
Kisah 3
Fitri adalah
seorang ibu dengan tiga anak.
Suaminya kerja serabutan (tapi lebih sering tidak bekerja). Jangankan untuk berinfak, untuk makan dan biaya
hidup lainnya sungguh sulit bagi keluarga itu. Sejak dulu Fitri tidak terbiasa
mencari penghasilan, dia selalu menggantungkan kepada orangtuanya. Dia tidak
menyangka, ketika menikah justru kesulitan ekonomi yang didapatkannya. Apalagi
suaminya ternyata malas-malasan bekerja. Akibatnya, Fitri bingung sendiri. Mau
kerja, bingung karena tiga anaknya tidak bisa ditinggal, dan suaminya melarang
kerja di luar rumah.
Seorang temannya
memberinya saran untuk bisnis dari rumah, entah online atau yang lain. Tapi, Fitri juga tidak bisa. Alasannya…
ENTAHLAH. Akhirnya Fitri menghutang sana sini. Profesinya sekarang adalah
PENGHUTANG. Dan itu cukup meresahkan kawan-kawannya. Bukan karena tidak mau
dihutangi, tapi… hey!! Ini bukan kebiasaan baik, kan?!
Kisah 4
Seorang ibu
pernah bertanya dalam sebuah pengajian ibu-ibu. “Bagaimana jika suami kita
orangnya kasar, suka memukul, tidak mau shalat, tidak mau puasa dan sering
melarang kita ikut pengajian. Apa yang harus kita lakukan?”
Saat Ustadzah
pengisi menjawab, “Nasehatilah suami anda dengan cara yang baik.” Ibu tadi
justru menjawab bahwa ia sudah berbicara dengan baik kepada suaminya tapi tidak
mempan. Usut punya usut, rupanya sang suami sejak awal sudah tidak respek
kepada sang istri, bahkan sering mengatakan “Yang cari uang itu saya (suami),
gak usah cerewet!”. Olala… akhirnya istri itu terpaksa menahan sakit hati terus
menerus.
Masih banyak
kisah-kisah tentang muslimah yang “terkungkung” lainnya. Keterkungkungan
seorang muslimah bukan hanya dikarenakan latar belakang ekonomi, bisa juga
karena latar belakang pendidikan, keterampilan,
dsb.
Seorang muslimah
yang mandiri secara finansial, juga akan mempunyai citra diri yang baik. Apa
itu citra diri? Citra diri adalah apa yang anda percayai tentang diri anda
sendiri. Bisa juga disebut
sebagai persepsi diri. Citra diri yang
baik adalah ketika kita percaya bahwa kita ini kuat, baik, sabar, sama
derajatnya dengan orang lain, tidak minder, merasa cantik (bukan narsis lho ya
^^), dan segala macam persepsi positif lainnya.
Sedangkan citra
diri yang buruk adalah ketika kita percaya bahwa kita lemah orang lain kuat,
kita budak
orang lain majikan, terjajah, orang lain lebih tinggi dari kita, minder, rendah
diri, penakut, jelek, gendut ginuk-ginuk (halah
opo toh iki ^^v), dan segala hal negatif lainnya.
Banyak penelitian yang
menyimpulkan, bahwa wanita yang mandiri secara finansial maka citra dirinya
baik dan meningkat—ketimbang yang “terkungkung” dalam masalah finansial.
Selain alasan di
atas, alasan yang paling mendasar mengapa muslimah kudu mandiri secara
finansial? Jawabannya adalah karena dengan kemandirian finansial itu banyak
ibadah yang bisa dilakukan. Sedekah, melaksanakan haji, memberi nafkah anak
yatim, memberi buka puasa, membebaskan Palestina, hingga berjihad.
Sedekah memang
bisa dengan apa saja, bahkan senyum saja sedekah bukan? Tapi, apa iya kita
mengharapkan surga dengan amalan senyuman saja?
Bukankah Allah
berfirman:
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk
surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antara kamu,
dan belum nyata orang-orang yang bersabar.” (QS Ali Imran: 42)
Yang kemudian
dijelaskan lebih rinci apa saja bentuk jihad itu dalam ayat yang lain:
“(Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan
berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi
kamu jika kamu mengetahui.” (QS As-Shaff: 11)
Lihat! Nyata
bukan?! Bahwa Allah yang meminta diri kita untuk berjihad dengan harta juga.
Kita di sini bukan hanya untuk muslim (laki-laki) saja, tapi juga untuk
perempuan. Karena perempuan itu sosok “bebas”, masuk surga atau neraka tidak
ditentukan laki-laki (ayah atau suaminya) melainkan dengan amalnya sendiri.
Simak, deh!
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang
muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap
dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang jujur, laki-laki dan perempuan
yang sabar,
laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah,
laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara
kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah
(berdzikir), Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang
besar.” (Al-Ahzab: 35)
Jika seorang
muslimah mandiri secara finansial, hal itu juga bisa membantu ekonomi keluarga.
Dan itu pun termasuk ibadah (sedekah).
Apalagi jika keuangan suami tidak mencukupi untuk hidup sehari-hari (makan,
sekolah, baju, dsb).
Allahu Akbar!
Mari kita tengok
sosok Bunda Khadijah r.a. Beliau adalah seorang wanita pebisnis. Harta
kekayaannya melimpah. Namun, beliau memang wanita kaya yang mulia. Kekayaannya
digunakan untuk menyokong dakwah Rasulullah Muhammad SAW. Hingga Rasulullah SAW
sendiri begitu cintanya kepada sang istri. Bahkan perempuan agung ini
mendapatkan titipan salam dari Allah melalui malaikat Jibril.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata:
“Jibril
datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan berkata: “Sampaikan kepada
Khadijah salam dari Allah dan dariku, dan berilah ia berita gembira dengan
sebuah rumah di surga yang terbuat dari emas permata. Di dalamnya tidak ada
kegaduhan dan tiada pula keletihan.” [HR. Bukhari dan Muslim]
Tak
hanya Ibunda Khadijah yang mandiri secara finansial. Mari kita tengok Ibunda
Zainab binti Jahsy yang rajin berkarya dengan tangannya sendiri. Beliau pintar
membuat anyaman dan menyamak kulit untuk dijual, selanjutnya uang hasil
penjualan disedekahkan untuk fakir miskin.
Aisyah
r.a. berkata, “... ternyata yang terpanjang tangannya di antara kami adalah
Zainab sebab dia sudah biasa berusaha dengan tangannya sendiri dan bersedekah.”
(HR Muslim)
Dalam hadits lain
diceritakan.
Jabir
mengatakan bahwa Nabi saw. datang menemui istri beliau, Zainab yang kebetulan waktu
itu sedang menyamak kulit ...” (HR Muslim).
Al Hafizh ibnu
Hajar menyebutkan dalam Kitab Al-Fath bahwa al-Hakim meriwayatkan dalam kitab
Al-Mustadrak—dia berkata menurut syarath Muslim—bahwa Zainab binti Jahsy adalah
seorang wanita perajin. Dia ahli menyamak dan menjahit kulit dan dengan hasil
usahanya itu dia bersedekah pada jalan Allah.”
Subhanallah,
ya!
Ada
lagi nih tokoh Zainab di zaman Nabi saw. yang terkenal karena bekerja untuk
menafkahi suami dan anak yatim. Beliau adalah Zainab istri dari shahabat
Abdullah Ibnu Mas’ud.
Zainab,
istri Abdullah Ibnu Mas’ud, berkata: “Pada waktu aku berada di masjid, lalu aku
melihat Nabi saw. Beliau bersabda, ‘Bersedekahlah kalian (hai kaum wanita)
meskipun dengan perhiasan kalian!’ Sedangkan Zainab sendirilah yang memberi
nafkah (suaminya) Abdullah dan anak-anak yatim yang dia pelihara. Zainab
berkata, “Lalu aku pergi menemui Nabi saw. Aku temukan seorang wanita Anshar
berada di dekat pintu rumah Nabi saw. dan keperluannya sama dengan keperluanku.
Lalu lewat Bilal dekat kami, dan kami bertanya kepadanya: ‘(Hai Bilal)
tanyakanlah kepada Nabi saw., apakah sah apabila aku memberikan nafkah kepada
suami dan anak-anak yatim yang aku pelihara?” Bilal pun masuk dan menyampaikan
pertanyaan aku itu kepada Nabi saw. Beliau menjawab, ‘Ya, sah, dan baginya dua
pahala: pahala kerabat dan pahala bersedekah.’” (HR Bukhari dan Muslim)
(Kebebasan Wanita, Jilid 1, Abdul Halim Abu Syuqqoh)
Nah
kan, ternyata Islam tidak melarang muslimah untuk bekerja mencari nafkah.
Malahan muslimah yang bekerja dan hasilnya digunakan untuk nafkah keluarga dan
sedekah itu luar biasa pahalanya. Tapi bekerja di sini tidak berarti harus
bekerja kantoran, boleh kok bisnis sendiri atau bisnis dari rumah. Kelebihan
bisnis sendiri atau bisnis dari rumah adalah mempunyai waktu yang fleksibel,
tidak terikat jam kantor yang padat. Selain itu kita juga punya waktu cukup
untuk menyelesaikan pekerjaan rumah dan mengasuh anak-anak kita.
Lalu,
bagaimana jika muslimah bekerja di luar rumah? Ehm, tampaknya bukan masalah
“bekerja atau tidak” yang menjadi masalah, karena sudah jelas itu dibolehkan.
Sebagaimana beberapa hadits di atas. Yang menjadi kontroversi mungkin adalah
‘di luar rumah’. Boleh tidak, ya? Untuk menjawab hal itu, kita semestinya tidak
langsung menghakimi “tidak” atau “boleh” tapi harus dilihat dari banyak faktor.
Salah satunya adalah faktor uzur syar’i
yang membuatnya harus keluar rumah. Jika ada uzur syar’i yang membuatnya harus keluar rumah, maka wanita
dibolehkan keluar rumah. Misalnya harus hijrah, ikut beribadah, ikut berperang,
ikut berdakwah, mengobati orang, mendidik, mengingatkan penguasa yang zalim dan
sebagainya.
Banyak
sekali kisah sahabiyah Nabi saw. yang keluar rumah untuk melaksanakan tugasnya.
Ayo, kita simak beberapa kisah di bawah ini! Cekidot!
Jabir
bin Abdullah berkata, “Bibiku dicerai dan dia bermaksud hendak mengambil buah
kurma (bertani) pada masa ‘iddahnya.
Namun, ada seorang laki-laki menghardiknya agar jangan keluar dari rumah. Lalu
bibiku pergi menemui Rasulullah saw. (untuk menanyakan masalah itu). Nabi saw.
berkata, “Tidak apa-apa, potonglah buah kurmamu. Barangkali dengan begitu kamu
bisa bersedekah atau melakukan sesuatu kebajikan.”” (HR Muslim)
Al-Hafizh
Ibnu Hajar berkata, “... dan Rasulullah saw. menempatkan Sa’ad di tenda
Rufaidah di samping masjid beliau. Rufaidah adalah seorang wanita yang sudah
biasa merawat orang-orang yang terluka. Lalu nabi saw. berkata, ‘Tempatkanlah
Sa’ad di tenda Rufaidah agar aku dekat menjenguknya.’” (Fathul Bari, Jilid 8,
hal. 415)
Ruba’i
binti Mu’awwidz berkata, “Kami pernah ikut berperang bersama Rasulullah saw.
Kami bertugas memberi minum pasukan dan melayani mereka serta memulangkan
orang-orang yang terbunuh dan terluka ke Madinah.” (HR Bukhari)
Ummu
Athiyyah al-Anshariyah berkata, “Aku ikut berperang bersama Rasulullah sebanyak
tujuh kali peperangan. Aku selalu ditempatkan di bagian belakang pasukan.
Akulah yang membuatkan makanan untuk mereka, mengobati yang luka-luka, dan
membantu yang sakit.” (HR Muslim).
Masih
banyak hadits yang mengisahkan bagaimana para shahabiyah Rasulullah saw. ikut
keluar rumah untuk beragam aktivitas positif. Jadi, jangan takut jika kita
memang harus bekerja di luar rumah. Namun, ada beberapa hal yang harus muslimah
perhatikan apabila ingin bekerja di luar rumah.
- Bekerja dalam bidang yang positif dan minim fitnah. Jangan bekerja di
tempat yang banyak fitnah. Misalnya bekerja di tempat yang mengharuskan
laki-laki perempuan campur baur. s
- Tetap menutup aurat dengan sempurna. Jangan lupa itu, ya!
- Menjaga adab berbicara dan berinteraksi dengan laki-laki non mahram. Sopan, tidak urakan,
jaga kehormatan.
- Menyeimbangkan waktu bekerja di luar rumah dengan tugas di dalam
rumah. Jangan timpang! Usahakan tidak bekerja di luar rumah pada saat
malam hari kecuali ditemani mahram.
- Mendapatkan ijin dari suami atau wali. Suami adalah wali kita saat
sudah menikah, maka kita perlu mendapatkan ridho dari mereka ketika hendak
keluar rumah. Itulah adab dalam Islam.
Nah,
bagaimana Sahabat Muslimah? Sudah terang benderang, kan? Kini tidak ada alasan
muslimah memble dalam finansial. Tak
inginkah kita seperti Bunda Khadijah, Zainab binti Jahsy dan muslimah lain yang
memberikan banyak manfaat bagi umat dari kekayaan yang mereka hasilkan sendiri.
Ayo, muslimah kudu mandiri finansial!
#Dicuplik dari buku saya yang berjudul "Kamu Cantik dari Hatimu"