Aku masih
ingat dengan jelas ... engkau menunduk malu saat itu, mencoba menawarkan
sebongkah asa dan segenggam cinta yang sederhana. Kulihat ada sedikit
kecemasan dalam raut wajahmu. Aku tidak tahu apa arti kecemasan di wajahmu itu,
namun di kemudian hari aku tahu bahwa engkau cemas aku akan menolak uluran cinta
darimu. Aku tertawa mendengar alasan itu, antara malu dan tersanjung.
Aku masih
ingat dengan jelas ... engkau gemetar saat mengucapkan janji suci itu. Air
matamu bahkan mengalir meresapi makna akad itu. Sempat kubertanya, mengapa
engkau menangis? Adakah penyesalan? Engkau menggeleng pelan ... "Mitsaqan
ghaliza ... janji suci yang teramat berat," begitu kau sebutkan. Kau
menangis karena bahagia, sekaligus takut tidak bisa membawaku dalam istana
bahagia. Dan kau lebih takut lagi tidak bisa menjadi Imam yang akan membawaku
ke SurgaNya.
Aku gemetar
mendengar alasan itu. Kau tahu, bahkan kau telah membawa bahagia itu di hari
pertama kita bersama. Aku bahagia. Kau lihat, kan?
Lalu hari
demi hari kita lewati bersama ... ada suka ada duka. Ada yang datang, ada juga
yang hilang. Ada kesenangan, tapi tak jarang kesedihan yang menyayat kita
berdua. Namun semuanya terasa beda. Itu pasti karena kau ada di sisiku. Kau
membawa begitu banyak tawa saat aku berduka. Kau menguatkan di saat yakinku
kepadaNya melemah. Tak jarang kau menjadi tubuh bagi jiwaku, di saat tubuhku
melemah karena sakit.
Kau tahu? Kau
adalah anugerah terindah yang pernah kudapatkan. Aku sangat mensyukurinya.
Engkau bisa meredam segala ego dan ambisi liarku. Engkau sangat memahami kekurangsabarannya
diriku. Engkau paham dan bahkan mendukungku untuk berkarya dan berdakwah di
luar rumah. Engkau bahkan rela menjadi pengantar-jemput di mana pun aku
beraktivitas.
Aku takjub
dengan prinsip hidupmu. Sederhana. Ya, itu prinsip hidupmu. Sederhana dalam
berfikir, sederhana dalam bertindak, sederhana dalam berpenampilan, bahkan sederhana
dalam menyikapi setiap masalah. Engkau tidak mempermasalahkan apakah makanan
yang kusediakan itu hasil masakanku sendiri atau hasil aku beli. Engkau bahkan
melarangku mencuci dan memilih untuk laundry—karena takut aku sakit. “Yang
penting semua tersedia dengan baik,” begitu alasanmu. Sangat sederhana, namun mampu memesonaku, Si Miss Idealis ini.
Oh. Aku
benar-benar malu. Jika dulu engkau yang tidak percaya diri untuk bersamaku. Tapi,
kini aku lah yang sungguh malu karena keluhuran budimu.
Kau tahu,
aku belajar banyak darimu, Suamiku. Darimu aku belajar sabar menghadapi
berbagai masalah. Darimu aku belajar ikhlas menerima takdir, saat calon buah
hati kita akhirnya kembali kepadaNya. Darimu aku belajar bertambah empati
kepada orang lain. Dan dari dirimu pula, aku belajar cinta. Cinta yang sederhana, cinta yang tidak berlebihan, namun menentramkan.
Kini, 2
tahun sudah kita bersama. Masih ingatkah engkau dengan cita-cita kita? Cita-cita
untuk menjadikan keluarga kita keluarga dengan misi dakwah dan misi sosial. Dengan
ridho Allah, cita-cita itu akan terwujud. InsyaAllah.
Happy Wedding Anniversary, My Hubby!!!
This our favorite song. Just check this out!